Ahad 14 Dec 2014 23:39 WIB

Kader Golkar Harusnya Selesaikan Konflik Melalui Mahkamah Partai

Partai Golkar
Foto: ANTARA
Partai Golkar

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Pengamat politik Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Acry Deodatus meminta pemerintah tidak mengintervensi konflik internal di Golkar. Menurutnya di era reformasi, seharusnya Pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) tidak perlu memutuskan konflik di internal Parpol.

Acry mengaku heran dengan harapan politikus Partai Golkar Agun Gunandjar Sudarsa, agar pemerintah segera memutuskan legalitas kepengurusan partai Golkar bukti bahwa pemerintah intervensi konflik internal Golkar.

"Mestinya kader-kader Golkar berharap ada senioritas Golkar turun dan melakukan rujuk dan islah bagi tokoh partai berlambang beringin yang saat ini terdapat dua versi, yakni hasil Munas Bali dan Jakarta sehingga lebih elegan, ketimbang meminta pemerintah," katanya di Kupang, Ahad (14/12).

Apabila internal telah terjadi rujuk dan silah, barulah pemerintah memberikan Legal-konstitusional atau pengakuan dan pengesahan terhadap Partai Golkar, bukan sebaliknya, karena apapun sikap dan keputusan pemerintah pasti akan digugat salah satu pihak dan dengan demikian menimbulkan konflik berkepanjangan.

"Bahwa saat ini konflik internal Partai Golkar berada di tangan pemerintah dalam (Kemenkumham) sebagaimana menjadi kewajiban pemerintah untuk menilai, mengkaji, menguji dan memutuskan (yang sah) antara Munas di Bali dan Munas di Jakarta, adalah hal yang tak terbantahkan," jelasnya.

Karena memang pemerintah memiliki instrumen penguji yakni Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang partai politik dan AD/ART Partai Golkar. Namun perlu diketahui Kemenkumham membentuk tim khusus untuk mempelajari berkas-berkas Partai Golkar merupakan bentuk intervensi pemerintah terhadap masalah internal Parpol.

"Ini sepertinya gaya pemerintahan Orde Baru yang cenderung otoriter mengendalikan Partai Poltik kembali dihidupkan lagi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang dimotori PDI Perjuangan yang terkenal anti Orba saat itu," jelasnya.

Dosen Ilmu Politik FISIP Undana Kupang itu mengatakan di era reformasi saat ini pemerintah tidak berwenang memutus konflik partai politik. Konflik di partai politik harus diselesaikan sendiri di internal partai. Sehingga kalau pemerintahan Jokowi-JK mulai mengatur konflik Parpol maka tidak salah kalau gaya kepemimpinan Orde Baru dihidupkan lagi.

Menurutnya, Tabu-nya pemerintahan melakukan intervensi terhadap persoalan internal partai politik diatur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Terhadap Undang-Undang Nomor 8 tentang Partai Politik, konflik di partai politik harus diselesaikan di internal partai melalui mekanisme mahkamah partai.

Karena itu, kata Deodatus, Kemenkumham yang merupakan perpanjangan tangan dari Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kala diminta untuk tidak gampang mengeluarkan kebijakan yang sifatnya tidak netral.

"Harusnya Pemerintah dalam menyikapi konflik partai politik tidak boleh memosisikan diri sebagai pengadilan. Bahkan sistem peradilan di Indonesia pun tidak ada mekanisme untuk menyelesaikan konflik partai. Harus diselesaikan di internal. Jadi Kemenkumham, jagan sampai euforia atau berlebihan diawal kepemimpinannya," katanya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement