Kamis 25 Dec 2014 16:03 WIB

Akademikus: DPR Harus Cermat Bahas Perppu Pilkada

Hasil survei Lingkaran Survey Indonesia (LSI) menunjukkan masyarakat mayoritas mendukung Perppu Pilkada langsung di Jakarta, Kamis (2/10).
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Hasil survei Lingkaran Survey Indonesia (LSI) menunjukkan masyarakat mayoritas mendukung Perppu Pilkada langsung di Jakarta, Kamis (2/10).

REPUBLIKA.CO.ID, BANJARMASIN -- Dekan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin Dr Mohammad Effendy SH mengingatkan, DPR harus cermat dalam membahas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014.

"Dalam membahas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2014 nanti, DPR-RI bukan hanya bicara menerima atau menolak, tapi lebih esensial lagi mencermati isi dari Perppu tersebut," ujarnya di Banjarmasin, Kamis (25/12).

Pasalnya, menurut alumnus program magister dan doktor bidang ilmu hukum dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Jawa Barat (Jabar) itu, Perppu 1/2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada, masih memerlukan penyempurnaan.

"Penyempurnaan itu terlepas, apakah nanti pemilihan kepala daerah atau Pilkada melalui DPRD maupun secara langsung oleh masyarakat pemilih," tutur pakar hukum tatanegara pada Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) tersebut.

Mantan ketua jurusan Hukum Tatanegara dan ketua senat mahasiswa Fakultas Hukum Unlam itu mengatakan, penyempurnaan materi/isi dari Perppu 1/2014 sebagai antisispasi terhadap hal-hal yang kemungkinan terjadi, sehingga tidak terjadi kekosongan hukum.

Sebagai contoh (walau hal tersebut tak kita inginkan), saat dalam perjalanan melaksanakan tugas kepala daerah meninggal dunia, maka wakil tidak bisa secara otomatis naik untuk menggantikan kedudukan itu.

"Karena pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah bukan satu paket secara bersamaan, tapi atas penunjukan kepala daerah terpilih. Untuk mengisi kekosongan kepala daerah tersebut parlu aturan," kata alumnus Fakultan Hukum perguruan tinggi negeri tertua di Kalsel itu.

Sebab, lanjut mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) itu, baik dalam Perppu 1/2014 maupun Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 102 tahun 2014, tampaknya belum mengakomodir persoalan seandainya terjadi kekosongan kepala daerah, karena satu dan lain hal.

Mengenai Pilkada tak lagi satu paket dengan wakilnya, menurut mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu berpendapat, hal tersebut ada positif dan negatif atau kelemahannya.

Contoh sederhana dari nilai positif, tambahnya, wakil kepala daerah bisa seirama dengan yang menunjuk, sehingga pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan bisa berjalan lebih lancar. "Karena jauh dari kemungkian perbedaan pendapat antara kepala daerah dan wakil," katanya.

"Hal negatif dari tidak satu paket tersebut, manakala terjadi kekosongan kepala daerah sulit mencari pengganti, apalagi kalau wakilnya dua orang sebagaimana ketentuan yang berdasarkan jumlah penduduk setempat," demikian Moh Effendy.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement