REPUBLIKA.CO.ID, Tokoh Pesantren Gontor, Hamid Zarkasyi mengatakan pencegahan radikalisme ala Kemenaker itu tidak adil. Sebab, radikalisme pada faktanya juga bisa disebarkan oleh pihak-pihak lain di luar jalur pendidikan agama. Misalnya, oleh kalangan berlabel komunisme, ateis, atau bahkan liberalis.
Hanya saja, Hamid Zarkasyi menjelaskan, bila radikalisme atas nama agama cenderung menghasilkan dampak kerusakan fisik, liberalisme radikal, misalnya, menghasilkan kerusakan terhadap pemikiran kolektif atau bahkan agama.
“Daya rusaknya sama. Tapi kenapa yang dilarang hanya (pengajar) agama? Saya kira pihak yang melarang ini tidak mengerti karena dia mencegah sesuatu yang dia sendiri tidak tahu jelas sumber-sumbernya,” kata Hamid Fahmy Zarkasyi, Kamis (8/1).
Hamid Zarkasyi menjelaskan, banyaknya pengajar agama asal Indonesia tidak serta merta memastikan tingginya kualitas pendidikan agama di Tanah Air. Sehingga, menurut Hamid Zarkasyi, Kemenaker hanya melihat aspek kuantitas tanpa menyertakan aspek kualitas dalam menjustifikasi pendidikan agama di Indonesia.
Hamid Zarkasyi mengakui, ada begitu banyak pengajar agama yang merupakan warga negara Indonesia. Namun, hal ini lantas tidak sama sekali berarti Indonesia mesti menutup pintu dari masuknya pengajar agama dari luar negeri. Sehingga perkembangan keilmuan agama di Indonesia berpeluang mandek.
“Pengajar agama kita banyak, tapi dari sisi apa? Kita masih butuh profesor-profesor dari luar negeri dalam bidang Hadis, Fiqih, dan Ilmu Tafsir. Itu yang kita tidak punya. Kita masih perlu mendatangkan gurunya lulusan terbaik kita di luar negeri,” ungkapnya