Ahad 25 Jan 2015 11:37 WIB

GP Ansor Minta KPK dan Polri tak Permainkan Hukum

 Seorang pegiat anti korupsi mengenakan topeng Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto saat puluhan aktivis menggelar aksi di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (24/1). (Antara/Akbar Nugroho Gumay)
Seorang pegiat anti korupsi mengenakan topeng Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto saat puluhan aktivis menggelar aksi di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (24/1). (Antara/Akbar Nugroho Gumay)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- PW GP Ansor Jawa Timur meminta KPK dan Polri selaku penegak hukum tidak mempermainkan hukum dan mempertontonkan "permainan" (drama) hukum itu, sedangkan aktivis 1998 meminta Presiden Joko Widodo juga tidak mempermainkan konstitusi (UUD 1945).

"Kami merasa prihatin melihat apa yang terjadi saat ini. Rakyat diberi tontonan atau drama hukum oleh elit-elit penegak hukum di negeri ini," kata Wakil Ketua Bidang Politik dan Hukum GP Ansor Jatim, Khoirul Huda, di Surabaya, Ahad (25/1).

Menurut dia, permainan hukum itu diulang kembali oleh elit-elit penegak hukum itu (KPK-Polri) hingga tiga kali, setiap ada proses hukum anggota Polri oleh KPK, maka Polri langsung "menembak" komisioner KPK. "Mestinya, elit penegak hukum itu memberi pembelajaran yang baik bagi masyarakat dalam upaya strategi penegakan hukum, bukan sebaliknya," katanya, didampingi ketua tim media center Ansor Jatim, Abdul Hady JM.

Oleh karena itu, PW Ansor Jatim menolak segala upaya pelemahan pemberantasan korupsi dan menolak pembusukan lembaga antirasuah serta mendesak pengusutan terduga korupsi tanpa pandang bulu. "Save KPK dan save Polri," katanya.

Sementara itu, aktivis 1998, Syafrudin Budiman, meminta Presiden Joko Widodo tidak mempermainkan atau justru melanggar konstitusi (UUD 1945) dan Pancasila dengan mengintervensi KPK. "Kalau Abraham Samad (Ketua KPK) menolak memberikan hasil penyidikan Budi Gunawan, maka Presiden Jokowi harus menghargai agar proses hukum berjalan secara yuridis, bukan politis," katanya.

Apalagi, UUD 1945 tidak memberi hak dan wewenang kepada Presiden untuk mengetahui hasil penyidikan KPK, karena itu tindakan Jokowi akan justru melanggar konstitusi (UUD 1945) dan Pancasila. "Presiden bisa meminta KPK, apabila negara dalam kondisi darurat militer atau perang, tapi hal itu pun harus dengan persetujuan DPR, tapi sekarang bukan situasi perang," katanya.

Namun, bila permintaan Jokowi kepada KPK itu hanya dilandasi ketidaktahuan dia tentang tata negara dan bukan sikap politik, maka hal itu tidak melanggar Konstitusi. "Presiden buka raja atau ratu yang punya hak veto, Jokowi menjadi presiden di negara Republik Indonesia dan bukan Kerajaan Indonesia," katanya.

Ia menilai penangkapan Bambang Widjayanto (BW) secara normatif masih bisa dimaklumi dan BW ketika jadi tersangka bisa mengundurkan diri sesuai UU. "KPK bisa jalan terus dengan tiga orang komisioner atau segera dipilih dan ditetapkan komisioner baru agar pemberantasan korupsi tidak jalan di tempat," katanya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement