Kamis 29 Jan 2015 13:42 WIB

Jadi Modus Kejahatan, PPATK Desak Pembatasan Transaksi Tunai

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Indah Wulandari
  Petugas menyiapkan pasokan uang tunai untuk kebutuhan anjungan tunai mandiri di salah satu kantor bank di Jakarta, Jum'at (21/12).  (Republika/Aditya Pradana Putra)
Petugas menyiapkan pasokan uang tunai untuk kebutuhan anjungan tunai mandiri di salah satu kantor bank di Jakarta, Jum'at (21/12). (Republika/Aditya Pradana Putra)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Uang tunai menjadi modus baru dalam kejahatan korupsi. Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) menilai, dibutuhkan aturan hukum baru soal transaksi keuangan nonperbankan tersebut.

"Praktik korupsi sekarang ini, lebih masif dilakukan dengan cara tunai," kata Wakil Ketua PPATK Agus Santoso, Kamis (29/1).

Ia menilai, transaksi tunai untuk praktik ilegal lebih tinggi ketimbang lewat lembaga perbankan. Kondisi tersebut, mendesak PPATK agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera membahas RUU Transaksi Tunai.

Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI, Selasa (27/1), Ketua PPATK Muhammad Yusuf mengungkapkan, nilai transaksi tunai di Indonesia tahun lalu mencapai lebih dari Rp 9.200 triliun.

Sebagian dari jumlah tersebut, dikatakan dia, berpotensi berkaitan dengan tindak pidana kejahatan. Termasuk di dalamnya praktik korupsi, gratifikasi, pencucian uang, hingga pemerasan.

Agus melanjutkan, sebenarnya draft usulan tentang aturan transaksi tunai sudah diajukan setahun lalu lewat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Akan tetapi, gagal masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2014.

Salah satu usulan PPATK soal aturan tersebut, ialah mengharuskan semua warga negara memiliki akun rekening di lembaga perbankan. Juga soal batasan maksimal transaksi tunai Rp 100 juta.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement