REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang perempuan dan ketenagakerjaan yang tergabung dalam Jaringan Perempuan Indonesia menilai, kinerja Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) tak memuaskan selama 100 hari pertama pemerintahan Jokowi-JK.
"Kami menilai Kementarian PPPA dan Kemenaker mendapatkan rapor merah atas kinerjanya selama 3,5 bulan ini," ujarnya Koordinator Cedaw Working Group Indonesia (CWGI) Estu Fanani di Jakarta, Ahad (8/2).
Penilaian buruk itu diberikan karena Kementerian PPPA tidak mengimplementasikan kebijakan jender (gender) dalam program kerjanya.
Ia menyebutkan, Kementerian PPPA tidak memasukkan agenda membangun kemandirian di bidang politik perempuan dalam program kerjanya. Pemerintah juga dinilai pihaknya minim prestasi di bidang hukum terkait perempuan.
"Kementerian PPPA berkomitmen untuk mewujudkan sistem penegakan hukum yang berkeadilan dan dalam pengarusutamaan gender (PUG). Namun, komitmentersebut tidak memiliki langkah strategis terhadap percepatan perubahan pada hukum yang responsif gender," jelasnya.
Kemudian, terkait dengan penghapusan peraturan diskriminatif terhadap undang-undang (UU) no 1/tahun 1974 tentang perkawinan yang memuat pasal-pasal diskriminatif, pemerintah tidak memasukkannya dalam agenda perubahan.
Pihaknya juga menilai Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Menteri Kesehatan Nila F Moeloek dinilai belum mengimplementasikan kebijakan gender dalam programnya.
Koordinator Komite Aksi Perempuan (KAP) Dina Ardiyanti juga memberikan rapor merah untuk Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri.
Dalam kampanye Jokowi saat menjadi calon presiden (Capres), kata dia, Jokowi berjanji menjalankan program 'Tri Layak' yaitu hidup layah, upah layak, dan kerja layak.
"Tetapi Menaker Hanif sebagai pembantu presiden gagal menerjemahkan keinginan Jokowi untuk menerapkan program Tri Layak itu," tegasnya.
Ia menyebutkan secara umum, buruh perempuan masih banyak bekerja dalam kondisi rentan seperti buruh perempuan yang bekerja di perkebunan, sektor industri, hingga garmen.
Para buruh masih mengalami kondisi kerja dan kondisi kesehatan yang buruk. Status kerja kontrak dan alih daya (outsorcing) menjadikan buruh perempuan tidak pernah mempunyai kepastian atas nasib mereka.
Harapan perubahan situasi pada pekerja rumah tangga (PRT) dan buruh migran pada Pemerintahan Jokowi juga berbuah kekecawaan ketika Hanif dinilai melanggar visi misi Jokowi dalam Nawacita. Janji kampanye Jokowi-JK dalam Nawacita yang akan memasukkan UU Perlindungan PRT juga tidak dilakukan oleh Hanif.
Sedangkan Koordinator Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraeni, Menaker justru melakukan langkah sebaliknya yaitu dengan mengeluarkan peraturan menteri tenaga kerja (permenaker) no 2 tahun 2015 tentang perlindungan PRT.
Namun, dalam isinya justru mengaburkan hak-hak PRT dengan tidak berdasar standar normatif ketenagakerjaan dan diserahkan pada hubungan PRT dan pemberi kerja.
"Menaker juga tidak mengusulkan RUU Perlindungan PRT dalam Daftar Prioritas Prolegnas 2015. Menaker juga menolak untuk memberikan komitmen terkait UU Perlindungan PRT dengan mengatakan tidak berjanji," jelasnya.
Yang juga membuatnya pihaknya kecewa adalah Menaker mendiskriminasi PRT melalui peta jalan (road map) zero unskilled domestic worker pada tahun 2017 yang berisi rencana penghentian penempatan PRT migran secara bertahap.
"Ini artinya sama saja melanggar hak-hak buruh migran untuk memperoleh pekerjaan yang telah jelas-jelas diatur undang-undang," tegasnya.