REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat media Universitas Indonesia (UI), Irwansyah, menilai media mulai menjual budaya dan ideologi yang dianggap universal, seperti budaya perayaan hari kasih sayang atau hari valentine.
Menurutnya, budaya dan ideologi valentine yang gencar dipromosikan media, merupakan bentuk dari kesadaran palsu.
"Ada agenda yang lebih dari sekedar jualan cokelat, jualan kartu kasih sayang, dan jualan kegiatan, menjelang valentine," jelasnya, saat dihubungi Republika Online, Selasa (10/2).
Menurut Irwan, kesadaran palsu yang diberikan media cenderung bertentangan dengan nilai-nilai lokal, religi, dan identitas bangsa yang beretika. Sebab, valentine bukanlah termasuk budaya lokal dan nasional.
"Dari perspektif religi juga, valentine bukan milik agama langit dan bumi melainkan sebuah sub kultur generasi tertentu yang telah dikomodifikasi," ujarnya.
Ia menjelaskan, penyebabnya bisa karena media saat ini telah mengalami kapitalisasi dan marketisasi yang terbawa pengaruh dari kepentingan pemodal dan pasar. Dalam konteks Indonesia, seharusnya media menjadi pembentuk ideologi dan identitas nasional.
"Sayangnya, pengaruh globalisasi menyebabkan media menjual informasi yang laku di pasar, salah satunya valentine," ungkap Irwan.