Kamis 12 Feb 2015 17:38 WIB

MK Tolak Gugatan Akil Mochtar Soal TPPU

Rep: Ira Sasmita/ Red: Karta Raharja Ucu
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar mengusap mata saat mendengar pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor,Jakarta,Senin (30/6)
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar mengusap mata saat mendengar pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor,Jakarta,Senin (30/6)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang diajukan Akil Mochtar. Permohonan Akil yang menyatakan dirugikan secara konstitusi atas beberapa pasal dalam UU tersebut, dikatakan MK tidak beralasan menurut hukum.

"Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Arief Hidayat selaku pimpinan sidang, di Gedung MK, Jakarta, Kamis (12/2).

Putusan tersebut merupakan haris Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva, selaku Ketua merangkap Anggota, AriefHidayat, Muhammad Alim, Aswanto, Patrialis Akbar, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Wahiduddin Adams. Namun, Hakim Konstitusi Aswanto dan Hakim Konstitusi Maria Farida Indratimemiliki pendapat berbeda (dissenting opinion).

Menurut Arief, putusan tersebut diambil MK dengan pertimbangan bahwa frasa 'patut diduga' atau 'patut diduganya' yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) UU 8/2010 menurut dalil Pemohon menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Namun menurut MK, dalam perkara pidana soal terbukti atau tidak terbuktinya, yakin dan tidak yakinnya para hakim yang mengadili suatu perkara semata-mata berdasarkan bukti-bukti di persidangan.

Dalam proses pembuktian, 'patut diduga' atau 'patut diduganya' atau 'patut disangkanya' tidak hanya dalam bahasa Undang-Undang, tetapi sangat tergantung pada terbukti atau tidak terbuktinya dalam persidangan. Hal tersebut sudah lama diterapkan oleh pengadilan dan tidak menimbulkan persoalan-persoalan penegakan hukum terkait dengan hak-hak warga negara.

Hakim Konstitusi Suhartoyo menambahkan, mengenai tindak pidana pencucian uang, yang menurut Pasal 69 UU 8/2010 tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Dimana oleh Pemohon di mohon supaya tindak pidana asalnya wajib dibuktikan terlebih dahulu.

Menurut MK, kata Suhartoyo, andai pelaku tindak pidana asalnya meninggal dunia berarti perkaranya menjadi gugur, maka si penerima pencucian uang tidak dapat dituntut. Sebab, harus terlebih dahulu dibuktikan tindak pidana asalnya. Adalah suatu ketidakadilan bahwa seseorang yang sudah nyata menerima keuntungan dari tindak pidana pencucian uang, tidak diproses pidana hanya karena tindak pidana asalnya belum dibuktikan lebih dahulu.

"Bagaimana mungkin ada tindak pidana pencucian uang kalau tidak ada tindak pidana asalnya. Apabila tindak pidana asalnya tidak bisa dibuktikan terlebih dahulu, maka tidak menjadi halangan untuk mengadili tindak pidana pencucian uang," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement