Ahad 22 Feb 2015 22:45 WIB

Usai Putusan PTUN, PPP Diharap Islah

Rep: Agus Raharjo/ Red: Bilal Ramadhan
Petugas Kepolisian melakukan penjagaan ketika massa PPP kubu Romahurmuzy berencana menduduki Kantor DPP PPP, Jakarta, Selasa (2/12).
Foto: Antara/Wahyu Putro
Petugas Kepolisian melakukan penjagaan ketika massa PPP kubu Romahurmuzy berencana menduduki Kantor DPP PPP, Jakarta, Selasa (2/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dijadwalkan akan membacakan putusan soal gugatan mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM, Rabu (25/2) nanti. Apapun hasil putusannya, dua kubu kepengurusan PPP diharap untuk islah.

Guru Besar Ilmu Politik dari Universitas Indonesia, Maswadi Rauf mengatakan, PPP diharapkan menjadikan hasil putusan PTUN sebagai ajang untuk mencari pemimpin. Sebaiknya, imbuh Maswadi, PPP tidak pecah akibat hasil putusan PTUN ini.

"PTUN memutuskan siapa yang sah, yang menang akan memimpin," kata Maswadi pada Republika, Ahad (22/2).

Maswadi menambahkan, PTUN ini harus dianggap sebagai ajang untuk mencari pemimpin partai berlambang Ka'bah ini. Artinya, hal ini harus dijadikan sebagai ajang untuk islah. Apapun keputusan PTUN, kedua pihak harus menerima dan tidak melanjutkan proses hukum lagi.

Pasalnya selama ini, islah bagi dua kubu diartikan dengan pihak lain menyerah dengan pihaknya sendiri. Bahkan, imbuh Maswadi, dengan putusan PTUN ini, harus dijadikan untuk membesarkan partai Islam ini.

Sebab, kalau terjadi perpecahan di tubuh PPP yang berakibat muncul partai baru, yang akan rugi adalah demokrasi Indonesia. Kedepan, demokrasi Indonesia diharapkan hanya memunculkan sedikit partai politik. "Putusan itu jangan sampai membuat pecah PPP," kata Maswadi.

Dalam gugatan ke PTUN, mantan ketua umum PPP, Suryadarma Ali menggugat Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM yang dinilainya melanggar proses rekonsiliasi dua kubu PPP karena sedang bersengketa. Namun, Menteri Hukum dan HAM yang baru sehari bekerja langsung menerbitkan SK yang dinilai kontroversi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement