REPUBLIKA.CO.ID,DENPASAR--Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia menilai, Kota Denpasar, ibukota provinsi Bali kini yang mulai mengenal banjir parah, padahal hujan hanya berlangsung sekitar tiga jam perlu antisipasi dan strategi ke depan.
"Antisipasi itu antara lain para elit tidak mengutak-atik lagi peraturan daerah (Perda) tentang ketinggian bangunan di Bali yang maksimal 15 meter" kata Prof Windia di Denpasar, Sabtu.
Ia mengatakan, jika perda tentang tinggi bangunan itu dirubah dengan mengizinkan ketinggian bangunan lebih dari ketinggian pohon kelapa (lantai empat), maka Kota Denpasar akan semakin porak-poranda.
"Karena kebijakan itu lebih banyak menguntungkan kaum kapitalis, dan kemudian mengundang migran. Secara empirik terlihat bahwa dengan dibangunnya infrastruktur seperti Jalan Gatsu, Teuku Umar, Jalan Ngurah Rai, dan jalan Ida Bagus Mantra, maka tidak banyak penduduk lokal yang mengambil manfaat," ujarnya.
Hampir 90 persen lebih, dimanfaatkan oleh kaum kapitalis (migran) dengan membangun bisnis, hotel, restoran, pertokoan, warung maupun "networking-ritel".
Windia mengingatkan, semuanya itu berakibat pada nilai jual objek pajak (NJOP) di kawasan tersebut semakin menggila dan besaran pajakbumi dan bangunan (PBB) semakin besar.
Hal itu mendorong petani untuk menjual lahan sawahnya, padahal dalam mempersiapkan subak sebagai warisan budaya dunia (WBD), tercatat bahwa hampir 40 persen petani menjual sawahnya karena tekanan pajak PBB.
"Lagi pula, pada saat harus membayar PBB, petani sudah tidak lagi memiliki uang cash. Mereka lagi-lagi terkena denda," ujarnya.
Demikian pula jika ketinggian bangunan diizinkan untuk lebih ditingkatkan, maka migran akan semakin meningkat, konversi lahan akan semakin meningkat.
"Sekarang sudah sekitar 1000 hektare lahan sawah di Bali lenyap dan potensi konflik sosial akan semakin tajam," ujar Prof Windia.
Sementara itu lalu lintas akan semakin macet, kriminal semakin besar, dan potensi banjir akan semakin hebat.
Ia mengharapkan pemimpin Bali terdahulu diantaranya Prof. IB Mantra tidak mempunyai beban kepentingan individu atau kelompok dalam memutuskan ketinggian bangunan di Bali.
Kepentingannya hanya untuk kondisi Bali yang kondusif, dan berkelanjutan. Tidak ada pewisik untuk kepentingan kapitalis, ujar Prof Windia.