REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG-- Pengacara terpidana mati mendatangi Pengadilan Negeri Palembang, Senin, untuk mengklarifikasi kebenaran telah dikirimkannya berkas permohonan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung pada 2005.
Ade Yuliawan yang menjadi pengacara terpidana mati asal Sumatera Selatan, Mgs Zainal Abidin diwawancarai menjelang kepulangannya ke Jakarta, mengatakan pihak PN Palembang mampu menunjukkan bukti tanda terima berkas dari Mahkamah Agung atas pengiriman yang dilakukan 10 tahun lalu.
"Pada prinsipnya, pejabat saat ini sudah tidak mengetahui persis mengenai perkembangan permohonan PK Zainal Abidin ini karena sudah 10 tahun lalu, namun mereka dapat menunjukkan bukti bahwa berkas sudah dikirim," ujar Ade.
Ia mengatakan, penjelasan itu diberikan langsung Ketua PN Palembang dengan didampingi Ketua Bidang Humas PN Palembang. "Atas pernyataan resmi ini, saya pun akan melanjutkan pengecekan ke Mahkamah Agung pada Selasa (10/3). Ini pun asal saran dari PN juga," ujar Ade.
Sebelumnya Mgs Zainal Abidin menyurati Kejaksaan Agung, Kamis (5/3), terkait dengan permohonan Peninjauan Kembali yang tidak pernah mendapatkan jawaban resmi Mahkamah Agung sejak 2005.
Sejak lima tahun lalu, Zainal dipindahkan dari Palembang ke Nusakambangan sehingga keluarga kesulitan untuk mengunjungi lantaran kesulitan biaya. Zainal Abidin merupakan terpidana mati kasus kepemilikan 58,7 kg ganja yang tertangkap pada 2001.
Pada persidangan di Pengadilan Negeri Palembang, 13 Agustus 2001, ia dituntut hukuman penjara selama 15 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum dan dijatuhi vonis lebih berat oleh majelis hakim yakni selama 18 tahun penjara.
Kemudian, Zainal berupaya banding ke Pengadilan Tinggi Palembang namun putusan pengadilan justru menjatuhi vonis hukuman mati pada 4 September 2001. Kemudian ia mengajukan kasasi atas putusan PT itu pada 3 Desember 2001 namun putusan tersebut justru diperkuat Mahkamah Agung.
Tak terhenti pada upaya kasasi saja, Zainal juga mengajukan Peninjauan Kembali (PK) pada 2005 dan hingga kini tidak pernah mendapatkan jawaban. Puncak upaya hukumnya yakni pada 2015 dengan meminta grasi tapi ditolak Presiden Joko Widodo.