REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahyo Kumolo belum lama ini mewacanakan pengalokasian dana sebesar Rp 1 triliun kepada partai-partai politik. Hal itu untuk meredam korupsi para politisi, baik di legislatif maupun eksekutif. Sebab, ada kekhawatiran, politisi terseret korupsi uang negara untuk memenuhi dana kas partai.
Terkait itu, pengamat kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy menilai, wacana tersebut mengabaikan akar persoalan perpolitikan di Indonesia. Bahkan, lanjut Noorsy, wacana ini mengindikasikan adanya kemunduran cara berpikir solutif dari pemerintah. Noorsy pun membandingkan politisi era kekinian dengan politisi Indonesia dahulu.
"Saya kira ini menunjukkan, Indonesia mundur dari cara berpikirnya dahulu. (Dibandingkan) temuan-temuan pikir yang dirumuskan para founding fathers," ujar Ichsanuddin Noorsy, Selasa (10/3).
Menurut Norosy, yang dibutuhkan sekarang ialah solusi yang bersifat sistemik. Sebab, kata dia, sistem bernegara di Indonesia kini amburadul. Noorsy menekankan, tidak cukup hanya dengan memasukkan politisi-politisi baik ke dalam sistem bernegara. Sebab, mereka dipastikan akan kalah.
"Lalu ada orang baik masuk ke dalam sistem amburadul ini. Maka dia akan ikut amburadul. Nggak bisa menolong," tegas dia.
Akan tetapi, dalam pandangan Noorsy, yang diperlukan ialah sosok pemimpin yang tegas. Pemimpin ini hadir bukan dengan pendekatan uang, termasuk wacana senilai Rp 1 triliun itu.
Pendekatan solutif mesti dimulainya dengan meneguhkan kekuasaannya untuk memperbaiki sistem. Dan bila pemimpin itu tidak melakukannya, kata Noorsy, maka situasi akan tetap amburadul.
"Ini yang saya sebut, rata-rata orang yang berkuasa —apakah di legislatif, yudikatif, atau eksekutif— statusnya dalam power and glory. Menikmati dan membangun kenyamanan kekuasaan. Ya sudah, berlakulah survival of the fittest," tutur dia.