REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat intelejen dan teroris Margidu Wowiek Prasantyo mengatakan, jaringan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang ada di Indonesia masih belum merupakan pergerakan kombat, militer atau perang. Menurutnya, kebanyakan warga Indonesia yang saat ini telah bergabung dengan ISIS dan ditangkap aparat, masih hanya sebatas simpatisan dan "bermain" dengan ideologi.
"Jadi mereka ini kebanyakan yang ditangkap bukan mereka yang akan berangkat perang, bukan mereka yang bisa menggunakan senjata, tapi orang yang terus memprovoke. Jadi kena pasal memprovokasi. Entah masang pamflet, entah pake headband logo itu (ISIS)," kata Margidu kepada ROL, Jumat (27/3).
Margidu mengatakan, provokasi yang dilakukan tersebut memiliki bahaya laten yang sama dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Masyarakat pun, lanjutnya, harus diedukasi untuk tidak melakukan pembiaran terhadap penyebaran dan penanaman paham radikal tersebut.
"Jadi ada yang bilang loh, ini anak saya nggak apa-apa, dagang bakso biasa', yang semula di gerobaknya ada simbol ISIS didiamkan, lama-lama menyebar. Ini yang terus jadi pembenaran-pembenaran dan ini harus diberangus. Karena paham ISIS adalah paham yang tidak sesuai dengan landasan negara kita," ujarnya,
Ia menambahkan, saat ini, penyebaran paham radikalisme di Indonesia terus meningkat tajam. Margidu menyebutkan, pada tahun 2000, hanya ada sekitar 500 orang ingin memahami dan menyetujui pemahaman garis keras yang dianut kelompok-kelompok radikal. Jumlah itu jauh lebih kecil dibanding saat ini yang mencapai 35 ribu orang.
"Pertumbuhannya sedemikian luar biasa di Indonesia, dan itu terus tumbuh. Itu kesalahan pemerintah. Entah itu pemerintahan SBY, karena salah pasti, 10 tahun dia nggak ngapa-ngapain, atau entah pemerintahan presiden kita sekarang ini. Itu faktanya," kata Margidu.