REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Plt KPK Johan Budi mendapat pertanyaan dari wartawan yang membuatnya sedikit tertegun. Dijumpai selepas memberikan kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Surabaya, Senin (30/3), Johan ditanya setuju-tidaknya dia terhadap hukuman mati bagi koruptor.
“Kalau tanya ke pribadi…(sejenak diam) ya, setuju. Biar jadi efek jera, harus diberi hukuman yang berat. Orang harus sadar bahwa korupsi itu kejahatan luar biasa,” ujar Johan kepada wartawan.
Meski telah termaktub dalam UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selama ini belum pernah ada hakim yang menjatuhkan vonis mati. Terlebih, jenis hukuman tersebu mendapat penentangan dari kelompok pegiat hak asasi manusia di tanah air.
Dalam kesempatan tersebut, Johan juga menyampaikan kritik atas rencana Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly merevisi PP 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Melalui revisi peraturan tersebut, Yasonna sebelumnya mengusulkan dibukanya hak remisi bagi terpidana koruptor.
“Kalau tujuannya merevisi PP itu agar semua diperlakukan sama antara koruptor dan maling ayam, itu kemunduran dan kontraproduktif terhadap pemberantasan korupsi. Ini juga yang juga digaungkan oleh Presiden Jokowi,” ujar Johan.
Menurut Johan, selama ini memang ada sejumlah wacana yang tidak sinkron antara Presiden Joko Widodo dan para menterinya. Kasus Yasonna, menurut Johan, adalah salah satu contohnya.
“Ada hal-hal yang tidak sama antara Presiden dan pembantunya, menterinya. Ada beberapa pernyataan, seperti remisi (untuk koruptor). Coba riset, soal presiden Jokowi, dia enggak setuju remisi (untuk koruptor),” kata dia.