REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA -- Anggota Dewan Perwakilan Daerah Fahira Idris mengingatkan umat Islam agar tidak terpancing dengan aksi pemerintah memblokir situs-situs media Islam, yang dianggap menyebarkan ajaran radikalisme.
"Yang paling tepat untuk menyikapi pemblokiran ini adalah menyiapkan tim advokasi serta menyusun strategi yang sistematis dan bukti bahwa tidak semua media 'online' yang diblokir sebagai situs penggerak paham radikalisme, apalagi dikaitkan dengan ISIS," katanya di Jakarta, Selasa (31/3).
Fahira melanjutkan, umat Islam sebaiknya tidak terpancing oleh pemblokiran yang ternyata atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan terorisme (BNPT) ini. Media-media yang diblokir menyiapkan strategi untuk membalikkan pendapat BNPT dan Kominfo.
Ia mengatakan, media massa itu harus bisa membuka mata publik bahwa tindakan pemblokiran ini gegabah dan membungkam hak asasi masyarakat dalam menyebarkan dan mendapatkan informasi.
Senator asal DKI Jakarta itu juga sangat menyayangkan cara berkomunikasi, baik BNPT maupun Kominfo yang sama sekali tidak memberi penjelasan resmi kenapa harus ada pemblokiran.
Menurutnya, kedua institusi ini harus paham bahwa persoalan pemblokiran situs ini sensitif dan dapat memancing kegaduhan publik. Ia menilai publik sekarang ini kritis, setiap kebijakan harus ada penjelasannya.
"Ini negara demokrasi, bukan rezim otoriter. Harus jelas batasan radikal itu seperti apa. Harus jelas dan ditunjukkan ke publik bukti berita atau informasi seperti apa yang disajikan media-media ini sehingga mereka harus diblokir. Kronologisnya harus jalas. Jangan pakai kaca mata kuda," tegasnya.
Fahira, mendesak BNPT maupun Kominfo harus menjelaskan persoalan pemblokiran ini ke publik. Menurutnya, seharusnya BNPT lebih mengedepankan pelibatan masyarakat untuk menjadikan penyebaran paham terorisme sebagai musuh bersama.
Dalam pandangan Fahira, jika sudah menjadi gerakan sosial, maka masyarakat sendirilah yang akan aktif mencegah penyebaran paham-paham radikal yang menyebarkan kebencian serta kekerasan.
"Ini menyangkut persoalan ideologi. Jadi pendekatannya harus sosio kultural, di mana masyarakat dijadikan subyek bukan obyek. Jangan sampai upaya membendung paham-paham berbahaya ini malah menyuburkannya, karena kebijakan dan tindakan-tindakan yang kontraproduktif seperti ini," kata Fahira.