REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dinilai belum membuat aturan yang spesifik mengenai pemblokiran atas sebuah situs. Anggota Komisi I DPR, Sukamta, menjelaskan, hal itulah yang menyebabkan pemblokiran kerap memunculkan kegaduhan, alih-alih solusi tuntas.
Padahal, kata dia, Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 11/2008 Pasal 40 ayat (6) sudah mengamanatkan pemerintah agar membuat peraturan pemerintah (PP). “Saya kira, tanpa aturan yang jelas, secara teknis, pasti akan timbul masalah. Apalagi, cara kerjanya (pemblokiran) seperti tadi. Menerima masukan. Blokir dulu. Fiksasi belakangan,” kata Sukamta di Cikini, Jakarta, Sabtu (7/1).
Dia mengatakan, dalam UU ITE hasil revisi kriteria berita bohong (hoax) sudah diperjelas, yakni sebaran-sebaran yang menyebabkan kerugian. Pasal 27 UU ITE menjelaskan konten-konten yang dilarang seperti, sebaran yang menyinggung kesusilaan, perjudian, penghinaan, atau pemerasan. Jika sifatnya lelucon, menurut Sukamta, sebaran itu masih dalam batas-batas yang ditoleransi.
Karena itu, kata dia, peraturan pemerintah (PP) perlu untuk memperjelas kaidah-kaidah pemblokiran. Misalnya mengenai apakah sebuah situs dapat langsung diblokir atau melalui surat peringatan bertingkat serta tenggat waktu peringatan hingga tindakan. “Itu kan mesti diatur secara teknis dengan PP. Kalau tak ada aturan yang jelas, semua menurut penafsiran dan perasaan sendiri-sendiri begini, bisa kacau negara,” ujarnya.