REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kantor Regional IV Jawa Tengah-DIY mengkhawatirkan pengaruh dolar terhadap kredit perbankan khususnya dalam hal pengembalian uang pinjaman dari nasabah.
"Selama ini kan banyak nasabah perbankan yang berasal dari kalangan pengusaha, pada produksinya para pengusaha ini banyak menggunakan bahan baku impor, padahal bahan baku impor kan harganya terus meningkat," kata Ketua OJK Kanreg IV Santoso Wibowo di Semarang, Kamis (2/4).
Apalagi jika pengusaha tersebut menjual hasil produksinya di pasar lokal, maka hasil penjualan tidak bisa menutup ongkos produksi yang membengkak. "Jika kondisi tersebut terjadi maka akan berdampak pada naiknya tingkat kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) di kalangan perbankan. Memang saat ini belum terjadi, tetapi jika dibiarkan ada kemungkinan ke arah itu," katanya.
Pihaknya memprediksi, penguatan dolar AS akan berpengaruh terhadap NPL jika rupiah tembus di angka Rp 14 ribu per dolar AS. Sedangkan hingga saat ini dolar masih di kisaran Rp 13 ribu per dolar AS, pihaknya berharap besaran tersebut bisa terus turun minimal di level Rp 12 ribu per dolar AS.
Sementara itu, penguatan dolar juga belum berpengaruh terhadap tersendatnya penyaluran kredit dari perbankan ke nasabah. Untuk mengantisipasi dampak ke depan, OJK mengimbau agar perbankan lebih berhati-hati dalam melakukan penyaluran kredit.
"Bank harus lebih selektif dalam menyalurkan kreditnya, salah satunya yaitu lebih mengutamakan kredit untuk nasabah yang memiliki orientasi ekspor atau bila perusahaan berorientasi pasar lokal diutamakan yang menggunakan bahan baku lokal sehingga tingginya dolar tidak mengganggu proses produksi maupun penjualan," katanya.
Diakuinya, hingga saat ini kinerja bank di Jawa Tengah masih lebih baik dibandingkan secara nasional, mulai dari penghimpunan dana pihak ketiga (DPK), kredit, hingga NPL. Sebagai gambaran, pada triwulan IV tahun 2014, pertumbuhan aset perbankan di Jateng masih tumbuh 12,4 persen, sedangkan nasional hanya tumbuh 7 persen.