REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa menggunakan kewenangan supervisi untuk mengambil alih kembali kasus dugaan suap Komisaris Jenderal Budi Gunawan.
"Kewenangan KPK untuk menyelidiki, menyidik dan menuntut berbeda dengan kewenangan supervisi. Dua hal itu saling berdiri sendiri sehingga KPK bisa menggunakan kewenangan supervisi," kata Miko Ginting dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (8/4).
Selain menggunakan kewenangan supervisi, Miko mengatakan KPK juga bisa mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan praperadilan yang telah membatalkan surat perintah penyidikan yang menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka.
Alternatif lain yang bisa dilakukan KPK, kata Miko, adalah menetapkan kembali Budi Gunawan sebagai tersangka atau menetapkan pihak lain di sekeliling Budi yang terkait dengan dugaan suap sebagai tersangka. "Dalam kasus suap itu ada pemberi suap dan penerima suap. Jadi bisa saja pihak lain yang berkaitan ditetapkan sebagai tersangka untuk kemudian menjerat Budi Gunawan," tuturnya.
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mendesak KPK untuk menarik kembali berkas perkara Budi Gunawan yang sebelumnya dilimpahkan ke Kejaksaan Agung dan akhirnya dilimpahkan ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
"Pelimpahan kasus Budi Gunawan oleh Kejakgung kepada Bareskrim Polri memunculkan dugaan bahwa hal itu sudah didesain dari awal untuk menghentikan kasus itu," kata Miko.
Selain itu, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi juga menuntut agar Plt Ketua KPK Taufiqurahman Ruki untuk mengundurkan diri karena dinilai telah gagal dan mengkhianati semangat pemberantasan korupsi. Koalisi juga menuntut Presiden Joko Widodo untuk memilih figur-figur yang berintegritas untuk mengisi jabatan-jabatan strategis seperti pimpinan KPK, kepala Polri dan wakil kepala Polri serta jaksa agung.
Selain PSHK, lembaga lain yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi adalah Indonesia Corruption Watch (ICW), Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Indonesia Legal Roundtable, Institute Criminal Justice Reform (ICJR) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).