REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta tegas menyelesaikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kasus BLBI diminta menjadi prioritas dalam penegakan hukum terhadap praktek kejahatan ekonomi.
Aktivis dari Pusat Studi Sosial dan Politik (Puspol) Indonesia Kusfiardi Sutan Majo Endah mengatakan, saat ini penyelesaian kasus BLBI atau kasus Century masih belum tuntas. Para aparat penegak hukum, khususnya KPK pasca kasus Budi Gunawan mengalami pelemahan secara institusi dan juga gelombang pra peradilan yang dilakukan oleh para tersangka.
Dari sisi aset, PT PPA selaku BUMN pengelola aset ek-BPPN juga masih disibukkan mengelola dan menjual aset tersebut untuk mengembalikan uang negara yang telah dinikmati para obligor BLBI. Sejumlah aset-aset tersebut ternyata masih terkendala status kepemilikan dan bahkan gugatan dari para pemilik lama yang ingin menguasai kembali aset-aset lawasnya tersebut.
"Sanksi hukum yang tegas harus diberlakukan terhadap pelaku kejahatan ekonomi dalam kasus BLBI yang telah merugikan negara dalam jumlah yang sangat besar, dan bebannya harus ditanggung oleh rakyat hingga saat ini, dan bahkan sampai beberapa tahun mendatang," ujar Kusfiardi dalam diskusi bertema Kerusakan Sistemik Akibat Kejahatan Ekonomi BLBI, di Jakarta, Kamis (23/4).
Menurutnya, penyelesaian kasus BLBI yang tidak berorientasi pada penegakan hukum justru memberi peluang yang lebih luas berlangsungnya praktek moral hazard dan merusak tatanan ekonomi nasional. Bahkan, mangakibatkan rakyat menanggung beban dalam bentuk pembayaran obligasi rekap.
Penerbitan obligasi rekap telah meningkatkan pengeluarkan pemerintah berupa pembayaran pokok dan bunga obligasi puluhan triliun rupiah hingga tahun 2043. Hasil pembayaran pajak rakyat dinilai justri dinikmati oleh perbankan melalui pembayaran bunga obligasi rekap dan menjadi sumber keuntungan bagi perbankan.
"Pemerintah harus memberikan efek jera dengan cara menjatuhkan sanksi blacklist terutama kepada obligor yang terbukti masih berupaya mengganggu bahkan ingin menguasai kembali aset mereka yang sudah dijadikan sebagai jaminan pelunasan utang BLBI," imbuh Kusfiardi.
Di samping itu, pemerintah diminta menghapuskan beban pembayaran pokok dan bunga obligasi rekap dalam APBN yang jumlahnya puluhan triliun rupiah hingga tahun 2043 mendatang.
"Beban Rp 70 triliun per tahun sampai tahun 2043 berapa ribu triliun yang kita hamburkan untuk subsidi sektor perbankan. Sektor perbankan kurang bisa mendorong sektor riil, hanya konsumsi seperti properti dan KPR," ujarnya.