Selasa 05 May 2015 20:37 WIB

Sanksi Cabut Kewarganegaraan, RI Langgar Hukum Internasional

Rep: C94/ Red: Ilham
Sidney Jones, pengamat masalah terorisme dari International Crisis Group.
Foto: AFP
Sidney Jones, pengamat masalah terorisme dari International Crisis Group.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan Pemerintah Indonesia yang akan mencabut kewarganegaraan warganya dinilai tak efektif. Kebijakan itu membuat negara seperti Suriah, Irak, dan Turki menganggap Indonesia lepas tangan terhadap warganya yang bermasalah.

"Kalau mau cabut pasport pemerintah harus dapat membedakan mana yang mau pergi untuk kemanusiaan, belajar atau memang mau perang. Tak segampang itu kalau mau cabut pasport," kata Direktur Institute for Policy of Conflict (IPAC), Sidney Jones, Selasa (5/5).

Ia mengatakan, pemerintah Indonesia ke depan memiliki tantangan terhadap warga negarannya yang hendak menuju Suriah dan Turki. Tantangan itu yakni dapat membedakan warga negarannya yang memiliki visi kemanusiaan dan untuk bergabung dengan ISIS.

Sydney menilai, kebijakan pemerintah Indonesia dalam mencabut kewarganegaraan WNI yang hendak berangkat ke Suriah atau Irak dilarang secara hukum internasioal karena akan melahirkan individu stateless.

Dia berharap agar pemerintah di Indonesia dapat memantau kondisi demikian dan terdapat ide konkrit dalam melawan ajaran ekstrimis di Indonesia. Di samping itu, Sydney juga mengkritik pendekatan pemerintah mengenai deradikalisasi yang melalui cara deideologi. Menurutnya, langkah tersebut tidak akan berhasil. "Cara yang lebih ampuh dengan memberikan status pada individu yang masuk dalam kelompok ekstirmis."

Meski demikian, langkah dalam memberikan status itu dimaksukan agar mereka lebih dihargai. Sehingga perlu disertai langkah kehati-hatian. Dia mencontohkan kasus Santoso di Poso.  Di sana Santoso diberikan jabatan dengan gaji di Pemerintahan Daerah Poso.  "Akhirnya uang itu digunakannya untuk memberdayakan napi-napi baru untuk bangun gerakan lagi," ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement