REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Parlemen Prancis menyetujui rancangan undang-undang yang memberi hak kepada intelijen melakukan pengawasan terhadap kelompok-kelompok ekstremis, kaum kiri, dan sosialis. Meski dinilai tidak seimbang, Perdana Menteri berdalih aturan ini dibuat untuk menanggulangi aksi ekstremisme.
Direktur Amnesty Eropa Gauri van Gulik menilai UU ini terlalu samar dan meninggalkan banyak pertanyaan yang belum terjawab.
"Parlemen harus memastikan langkah-langkah yang dimaksudkan untuk melindungi orang dari teror ini tidak melanggar hak-hak asasi mereka," ujarnya, seperti dilansir onislam.net, Kamis (7/5).
Menang dengan 438 melawan 86 suara, undang-undang itu dibuat empat bulan setelah serangan Charlie Hebdo yang menewaskan 17 orang, termasuk dua Muslim, Januari lalu.
Dengan undang-undang baru ini, intelijen akan diizinkan menempatkan kamera dan alat perekam di rumah tersangka tanpa persetujuan hakim terlebih dahulu.
Perusahaan komunikasi dan internet juga dapat dipaksa memberikan akses kepada intelijen merekam meta data dari seluruh pengguna internet di Perancis.
Persetujuan RUU ini datang beberapa bulan setelah Perdana Menteri Perancis Manuel Valls mengumumkan rencana meningkatkan upaya kontraterorisme mengekang ekstremisme.
Valls berdalih undang-undang ini merupakan bagian dari upaya melawan aksi teror. "RUU ini memberi intelijen lebih banyak kekuatan dalam memerangi terorisme dan kejahatan serius," katanya.
Berdasarkan peraturan baru, pemerintah akan mempekerjakan sekitar 2.680 orang dan meningkatkan pengeluaran sebesar 425 juta euro untuk melawan ekstremisme di negara Eropa.
Beberapa anggota parlemen Perancis menilai aturan ini tidak seimbang. "Kami benar-benar khawatir jika undang-undang ini memberikan terlalu banyak kekuasaan kepada eksekutif dan memiliki potensi mengatur spionase massa melalui cara-cara modern," ujar anggota parlemen Pierre Lellouche kepada Reuters.