REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarawan dari Universitas Gajah Mada (UGM), Sri Menggana, menilai setiap raja dalam Kerajaan Jawa mempunyai hak untuk mempertahankan kekuasannya. Menurutnya, jika Raja ingin melakukan hal tersebut maka yang ia lawan adalah tradisi bukan peraturan resmi.
“Nggak ada aturan lah, kan itu tradisi. Karena tradisinya tidak ada perempuan yang menjadi Raja, maka sekarang Raja membuat titah baru dan itu merupakan hak mutlaknya sebagai pemimpin tertinggi di sebuah kerajaan,” jelas Sri kepada Republika.co.id.
Lebih lanjut ia menjelaskan, tradisi sekarang ini dipengaruhi sejak zaman penjajahan Belanda. Menurutnya pada saat itu Kerajaan Jawa mendapat campur tangan dari pihak Belanda.
Masih menurut Sri, dalam masa tersebut ketika ada penobatan Raja harus ada kontrak politik yang harus ditandatangani dengan Belanda. Ketentuan tersebut dilakukan agar perubahan kekuasan dijalani dengan lancar.
Tentu, menurut Sri, apa yang dilakukan oleh Belanda dengan maksud dan tujuan tertentu. “Itu dilakukan untuk menghindari konflik-konflik yang berakibat dengan peperangan,” kata Sri. Menurutnya, jika saat itu tidak ada Belanda maka konflik yang terjadi akan lebih tajam.