REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mengakui bahwa peristiwa jual-beli ijazah bukanlah hal yang baru di Indonesia. Menurut Komisioner Bidan Penyelesaian Laporan ORI, Budi Santoso, semua itu sudah menjadi rahasia secara umum di masyarakat.
Budi berpendapat marakanya jual-beli ijazah itu akibat dari permintaan yang tinggi. “Itu terjadi karena ada demand yang tinggi dari beberapa pihak,” ungkapnya saat Konferensi Pers ihwal Evaluasi Penyelenggaraan Ujian Naisonal (UN) SMP/sederajat dan SMA/sederajat 2015 pada Kamis (21/5) di Kantor ORI, Jakarta.
Menurut Budi, universitas-universitas yang melakukan jual beli itu biasanya terjadi pada universitas atau Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang tidak jelas. Dia mencontohkan PTS yang acapkali membuka kelas di ruko-ruko.
Menurutnya, PTS-PTS itu tetap ada karena banyaknya permintaan dari beberapa pihak. Misal, kata dia, terdapat pihak yang amat membutuhkan ijazah untuk naik jabatan. “Contohnya ada pihak yang harus punya ijazah S2 supaya bisa naik jabatan di tempat kerjanya,” terangnya.
Karena kebutuhan tersebut, ujar Budi, pihak-pihak tersebut pun berusaha untuk bisa memperoleh ijazah. Dalam hal ini, lanjutnya, mereka mencoba untuk mendapatkan ijazah dengan cara yang mudah dan cepat. Menurut Budi, pihak-pihak tersebut jelas akan mencari cara termudah untuk mendapatkan ijazah mengingat kondisi yang tidak memungkinkan pada mereka.
“Intinya, karena ada kebutuhan atau permintaan yang tinggi lalu mereka tidak mau repot, maka PTS-PTS pun ini hadir di masyarakat,” tegasnya.
Menurut Budi, salah satu cara untuk menangkas situasi itu adalah dengan tindakan yang tegas. Ia mengatakan, Kementerian Riset, Penelitian dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) harus melakukan penertiban sesegera mungkin. Misal, tambahnya, pengawasan yang diperketat lagi oleh pemerintah.