REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Jayabaya, Lely Arrianie Napitupulu mengatakan, konflik berkepanjangan di tubuh Partai Golkar antara kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono adalah contoh cara berpolitik yang tidak baik dalam perebutan kekuasaan. Tak hanya itu, menurut Lely, islah yang sifatnya sementara juga merupakan contoh yang tidak baik lainnya.
“Kalau islah hanya untuk mengejar Pilkada serentak, maka itu adalah sebuah model transaksional yang justru ke depannya akan membuat partai tersebut semakin tidak mempunyai kader,” katanya kepada Republika Online, Ahad (24/5).
Harusnya, lanjut Lely, jika ingin islah, harus melakukan islah permanen. Itu semua akan tercapai jika kedua kubu yang berseteru memiliki kesadaran politik, kesantunan politik dan kelegowoan yang bertujuan untuk tujuan yang lebih besar.
Lebih jauh Lely memaparkan, hingga saat ini, partai politik di Indonesia tidak menjalani proses kaderisasi yang terstruktur. Mereka memiliki kader-kader potensial, tetapi politikus yang sudah sepuh tidak mau legowo untuk memberikan tongkat estafet kepemimpinan di partai.
“Sehingga mereka yang politikus potensial, yang membangun partai dari bawah, yang berdarah-darah tidak punya kesempatan untuk menjadi pemimpin masa depan. Sehingga hanya mereka-mereka saja yang berkeliling di dalam kekuasaaan itu,” tambah Lely.
Diberitakan sebelumnya, kemarin malam Ketua Umum Partai Golkar Kubu Munas Bali, Aburizal Bakrie baru saja melakukan pertemuan dengan Jusuf Kalla untuk membicarakan kemungkinan Islah Golkar agar partai penguasa orde baru ini dapat ikut Pilkada. Pada pertemuan tersebut, Ical menyebut pihaknya siap bekerja sama dengan kubu Agung untuk menyongsong pilkada serentak.