REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politiikus Partai Golkar Hajriyanto Tohari menjelaskan, empat poin islah yang ditawarkan Wakil Presiden sekaligus politikus senior Golkar Jusuf Kalla (JK) pada masing-masing DPP Golkar, memiliki dua sisi bagi dirinya. Sisi pertama adalah harapan dan kedua adalah kenyataan.
"Pada tataran harapan, saya berharap akan ada islah yang sesungguhnya. Bukan islah parsial atau hanya untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)," ungkap Hajriyanto pada Republika, Selasa (26/5). Kesepakatan kedua belah pihak untuk menghadapi Pilkada, tambahnya, hanya supaya masing-masing DPP tidak diamuk oleh kader-kader DPD yang terancam tidak bisa mencalonkan dirinya dalam Pilkada.
Namun, dalam sisi kenyataan, lelaki yang pernah menjabat sebagai ketua DPP Golkar ini mengaku pesimis partainya bisa sepenuhnya islah. Karena belum ada kesepakatan antara masing-masing pihak, yakni Agung Laksono dan Aburizal Bakrie (Ical), untuk membabawa kemauan islah dalam forum yang resmi. Forum yang memang didasari atas keinginan masing-masing kubu untuk berdamai.
Ia mengatakan seharusnya polemik Golkar yang berkepanjangan ini bisa diwadahi dalam sebuah forum resmi, seperti Musayawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub). Hal ini penting karena keputusan yang diambil masing-masing kubu bersifat krusial dan elementer. "Karna daalam satu organisasi itu hanya ada satu ketua umum. Kalau memiliki dua ketum dan dua sekjen, apa bisa disebut islah," ungkap Hajriyanto.
Hajriyanto mengaku tidak memihak salah satu kubu Golkar yang sedang bersengketa. Hal ini karena dirinya menilai Munas yang diselenggarakan di Bali tidak mengindahkan faktor keterbukaan dan demokratis. Sedangkan Munas Ancol, lanjutnya, hanya memperkeruh suasana internal Golkar.