REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) sudah tak lagi berwenang mengadili sengketa Pilkada. Hal ini sebagai tindak lanjut Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013.
Kendati demikian, berdasarkan UU No 1 Tahun 2015 tentang Perppu Pilkada, kewenangan tersebut kembali diberikan kepada MK sampai dibentuknya sebuah lembaga peradilan khusus untuk menangani sengketa hasil Pilkada.
Menurut Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie, ada kerancuan di dalam undang-undang tersebut. Sebab, lanjut Jimly, pembuat regulasi itu, terutama Komisi II DPR, terkesan abai pada konstitusi. "Sudah dua kali saya diundang ke Komisi II. Bagaimana itu politikusnya enggak ngerti-ngerti. Bebal itu," ucap Jimly Asshiddiqie, Ahad (28/6), saat dihubungi Republika Online (ROL).
Jimly menjelaskan, selama ini ada penafsiran yang salah dipahami oleh pembuat regulasi. Dalam konstitusi, lanjut dia, tegas diatur bahwa pengadilan mengenai hasil pemilihan umum dilaksanakan oleh MK. Namun, Jimly tidak merujuk pada DPR semata.
Jimly lebih jauh mengacu pada kegamangan MK pada 2013. Tepatnya, ketika mencuat kasus Akil Mochtar. Ketua MK periode setelah Mahfud MD itu terjerat kasus suap dua sengketa Pilkada sekaligus.
MK di bawah pengganti Akil, Hamdan Zoelva, justru mencari-cari jalan agar kewenangan tersebut lepas. Sehingga, ungkap Jimly, terkesan majelis hakim MK terlalu parsial dalam memandang kewenangan mengadili sengketa hasil Pilkada.