REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengamat militer Khairul Fahmi menilai bahwa insiden jatuhnya pesawat Hercules C-130 di Jalan Jamin Ginting, Medan, Sumatera Utara, awal pekan lalu, harus menjadi momentum dalam membenahi kondisi Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) dan peruntukannya.
''Termasuk bagaimana pemanfaatannya oleh pihak lain. Bukan berarti tidak boleh, namun pengaturan penting untuk mencegah terjadinya salah kelola, penyalahgunaan, pemanfaatan untuk kepentingan pribadi atau pihak lain,'' ujar Khairul dalam keterangan pers yang diterima Republika, Senin (6/7).
Menurut Khairul, dalam hal pengelolaan aset militer, masih ada potensi terjadi korupsi mulai dari level terendah, yang bermain dari mur dan baut, hingga level yang lebih tinggi, seperti soal kualitas dan kuantitas upaya pemeliharaan aset tersebut.
Lebih lanjut, Khairul menyebut, insiden jatuhnya pesawat Hercules C-130 itu juga sempat menimbulkan adanya dugaan komersialisasi aset militer.
Khairul menyebut, pada insiden jatuhnya pesawat Hercules itu sempat ada laporan soal warga sipil yang membayar untuk bisa menumpang pesawat milik TNI AU.
Ini tidak terlepas dari upaya pemenuhan, ujar Khairul, dana taktis. Tidak hanya itu, kebutuhan dana taktis ini juga menjadi penanda belum memadainya sistem keuangan negara menyentuh anggaran pertahanan negara.
Kendati begitu, untuk memperbaiki adanya komersialisasi aset militer itu, Pemerintah harus bisa secara tegas mengawasi dan mengatur pengelolaan aset militer tersebut. Terutama apabila, aset-aset itu digunakan pihak lain, di luar militer.
Selain itu, pemerintah juga harus secara tegas memutuskan apakah dana pihak lain yang digunakan untuk komersialiasi aset militer merupakan termasuk dalam kriteria Pemasukan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang harus disetor ke negara atau bukan.
Kendati begitu, Khairul menegaskan, pemerintah harus bisa mengambil sikap tegas untuk melarang adanya praktek-prakter 'ngompreng' atau komersialisasi aset yang tidak bertanggung jawab.
"Kalau masih terjadi, usut secara tuntas dan pastikan yang bersalah akan dihukum. Jika tidak, kemampuan dan kesiapan penegakan kedaulatan dan keamanan nasional jadi taruhannya,'' kata pria yang juga menjabat sebagai peneliti di Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) ini.