REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Prof Dr Budiman Ginting SH menilai kasus tiga hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Medan yang ditangkap oleh KPK merusak nama baik korps penegak hukum.
"Kasus itu, jelas sangat memalukan dan merusak citra hakim di negeri ini," katanya, Sabtu (11/7).
Sebelumnya, penyidik KPK menangkap tiga hakim PTUN Medan berinisial TIR, AF dan DG di kantor institusi hukum itu, Kamis (9/7) sekitar pukul 11.00 WIB terkait kasus penyuapan dalam memenangkan putusan.
KPK juga menangkap panitera PTUN Medan berinisial SYR dan seorang pengacara GB dari Jakarta. Selain itu, KPK menyegel ruangan Ketua PTUN, ruangan Kepala Subpanitera PTUN dan sebuah lemari berukuran besar di ruangan hakim tersebut.
Budiman mengatakan, operasi tangkap tangan (OTT) tiga hakim yang dilakukan komisi antirasuah itu mendapat tanggapan serius dari Mahkamah Agung (MA) dengan langsung menonaktifkan mereka.
Kasus yang dilakukan hakim PTUN itu, kata dia, membuat masyarakat semakin tidak percaya lagi terhadap kinerja hakim yang mengeluarkan putusan, karena tersangkut masalah uang.
"Masyarakat juga menilai dalam mengabulkan suatu putusan, berarti harus memerlukan uang, dan dimana lagi letaknya penegakan hukum bagi pencari keadilan?" ujar Pembantu I Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) itu.
Dia merasa heran apa yang dilakukan tiga oknum hakim itu, yang masih mau bermain uang dalam mengeluarkan putusan. Padahal, gaji seorang hakim juga cukup besar dan tidak lagi mengalami kekurangan dalam memenuhi biaya hidup mereka.
"Hal ini, kemungkinan mengalami godaan dan kurangnya keimanan seseorang, sehingga terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan oknum hakim tersebut," katanya.
Budiman berharap ke depan, tidak terjadi lagi oknum hakim melakukan perbuatan yang tidak terpuji. MA harus lebih ekstra ketat dalam menyeleksi calon hakim.
"Mahkamah Agung harus memilih hakim yang benar-benar memiliki integritas tinggi, profesional, tidak mudah dipengaruhi, mempunyai kepribadian yang baik, dan tidak mau menerima suap," kata guru besar Fakultas Hukum USU itu.