REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Surat terbuka yang mengimbau seluruh pedagang, pemotong, dan broker ayam se-Bogor Raya untuk melakukan aksi mogok hingga Rabu (19/8) telah beredar sejak beberapa hari lalu. Namun, tak seluruh pedagang menyetujui aksi itu.
"Saya rasa mogok juga tidak ada gunanya. Harga pasar akan tetap sama," ujar Haji Agus, pedagang daging ayam di Pasar Induk Warung Jambu, Kota Bogor, Ahad (16/8).
Menurut pria 55 tahun itu, mahalnya ayam disebabkan kekeringan. Peternak kekurangan air sehingga harga melonjak.
Harga normal Rp 30 ribu per kilogram akhirnya melesat ke harga Rp 40 ribu. Agus mengakui, kenaikan drastis itu membuatnya nombok.
"Modal nggak ketutup sama hasil jualan," kata pria yang telah berjualan selama 15 tahun tersebut.
Agus mengatakan, esok, Senin (17/8), ia akan menutup lapaknya, yang biasa buka sejak pukul 10 pagi hingga enam sore. Bukan karena aksi mogok, melainkan karena tanggal merah peringatan HUT RI.
Sehari setelahnya, ia mengaku akan tetap berjualan jika ada pemasok ayam yang beroperasi. Ia meyakini pasokan dari sejumlah peternak langganannya akan tetap ada seperti biasa.
"Saya biasa ambil dari beberapa tempat, tidak bergantung dengan pihak tertentu," ujar pria asal Sukaraja itu.
Akan tetapi, jika tak ada pasokan ayam, Agus terpaksa libur berjualan. Pedagang yang dalam sehari bisa menjual hingga 125 kg ayam itu berharap, apapun kondisinya, harga bisa stabil kembali.