REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum laut Hasjim Djalal berpendapat Indonesia harus memosisikan diri sebagai pihak yang mampu menciptakan suasana kondusif di Kepulauan Spratly agar semua pihak yang terlibat dalam konflik dapat bekerja sama.
"Walaupun kita tidak menjadi pihak dari pertengkaran atas klaim kewilayahan di Spratly itu," kata Hasjim ketika ditemui Antara usai menghadiri The Indonesia Navy 2nd International Maritime Security Symposium (IMSS) 2015 di Jakarta, Rabu (16/9).
Mantan Duta Besar Indonesia untuk PBB tersebut ingin apa yang dikerjakan pihak terlibat konflik di Kepulauan Spratly tidak lantas membuat kegaduhan-kegaduhan yang dapat mengganggu stabilitas kawasan.
Hasjim berpendapat pula bahwa kerja sama dalam kasus perselisihan tersebut dapat mengarahkan kepada pembangunan kepercayaan (confidence building) yang kemudian menuju pada tercapainya penyelesaian sengketa oleh pihak-pihak terkait.
"Kita bukanlah pihak yang terlibat di situ, namun sebaiknya kita tidak mengambil tindakan-tindakan yang bisa menimbulkan prasangka dari sikap pihak lain," ucap Hasjim.
Sebelumnya, Cina diduga sedang membangun landasan udara ketiganya di wilayah sengketa Kepulauan Spratly, ungkap lembaga penelitian asal Washington, Center for Strategic and International Studies (CSIS), Senin (14/9).
Kabar mengenai pembangunan landasan pacu baru tersebut muncul menjelang kunjungan Presiden Cina Xi Jinping ke Washington. Amerika Serikat sendiri berulang kali menyatakan kekhawatiran terkait klaim sepihak Beijing di wilayah sengketa tersebut. Niat Cina mengenai program tersebut tidak akan menurunkan ketegangan ataupun solusi diplomatik.
Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan menjadi area perselisihan dan saling klaim oleh beberapa negara, yaitu Brunei Darusallam, Cina, Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Vietnam karena faktor kekayaan sumber daya alam dan posisinya yang strategis.
Pada April 2015, citra satelit mengungkapkan bahwa membangun lapangan terbang di karang Fiery Cross dan reklamasi di sekitar Kepulauan Spratly.