Kamis 17 Sep 2015 23:46 WIB

Limbah di Majalaya Terus Rugikan Warga Sekitar

Rep: C12/ Red: Yudha Manggala P Putra
Sejumlah anak bermain di aliran air yang telah dicemari limbah. Ilustrasi (Republika/Rakhmawaty La'lang)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Sejumlah anak bermain di aliran air yang telah dicemari limbah. Ilustrasi (Republika/Rakhmawaty La'lang)

REPUBLIKA.CO.ID,MAJALAYA -- Sejumlah warga Kampung Leuwidulang Desa Sukamaju Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung mengeluhkan bau tak sedap  dari aliran sungai Citarum yang melintasi kampung tersebut. Kondisi demikian sudah dirasakannya sejak awal tahun 2000.

Salah seorang warga Kampung Leuwidulang, Desa Sukamaju, Kecamatan Majalaya, Santi menuturkan, bau tak sedap tersebut sering dirasakan warga saat di sore hari jelang malam.

"Kalau sudah sore sampai malam bau airnya. Warna air sungainya juga kadang merah kadang hijau," tutur dia, Kamis (17/9).

Perempuan yang pernah bekerja selama enam tahun di salah satu perusahaan tekstil di Majalaya ini juga menjelaskan, pabrik-pabrik di Majalaya kebanyakan memang tidak menetralisir limbah yang dikeluarkan.

Akibatnya, buangan limbah pabrik selalu mengaliri sungai yang berada dekat dengan rumahnya. "Di sini kan banyak pabrik tekstil, kalau enggak dibuangnya sore, ya subuh-subuh," ujar dia.

Dari pantauan, warna air sungai yang melintasi Kampung Leuwidulang berwarna hitam pekat. Saat siang hari, bau tak sedap yang ditimbulkan tidak terasa. Di bantaran sungai tersebut, pun banyak sampahnya.

Kata Santi, sebagian warga setempat, ada yang membakar sampahnya, tapi ada pula yang membuangnya langsung ke sungai. "Ya kalau yang sadar ya dibakar, ya kalau yang enggak ya main asal lempar saja ke sungai," ujar dia.

Selain Santi, warga desa Sukamaju lainnya, Lia, juga mengakui banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan dari keberadaan pabrik terhadap lingkungan sekitar. Kata dia, pabrik-pabrik sekitar juga sering mengeluarkan hembusan asap hingga ke pemukiman warga sekitar. "Debunya suka kebawa-bawa," tutur dia.

Bahkan, jika warga terkena asap itu, ujar Lia, sering mengakibatkan gatal-gatal. Memang, rasa gatal itu tidak parah. Namun, persoalannya, pabrik-pabrik di situ harus memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (Ipal) sehingga tidak merugikan warga sekitar. "Pas kena asap suka gatal. Sore atau subuh asapnya masih sering keluar," jelas dia.

Lia menambahkan, dulu, sekitar 1990-an, aliran sungai di sana masih jernih sehingga banyak para ibu rumah tangga yang memanfaatkan air sungai untuk mencuci pakaian. Namun, di awal 2000, ketika mulai banyak pabrik yang didirikan di Desa Sukamaju, air sungai mulai tercemar.

"Dulu pas awal 90-an masih bersih. Pas masuk ke (tahun) 2000 mulai banyak pabrik dan menimbulkan bau," tutur perempuan asli Sukamaju ini.

Dampak lain dari keberadaan pabrik ini, sebenarnya tak hanya mencemari air sungai dan udara. Tapi juga menyebabkan air di pemukiman warga berwarna kuning dan berpasir. "Air di sini mah kuning. Di sini airnya kuning. Hampir keseluruhan (rumah)," ujar dia.

Karena kondisi demikian, lanjut Lia, banyak warga setempat yang menggunakan sitrun, untuk menjernihkan air. Air yang disedot dari tanah, ditampung terlebih dahulu di sebuah drum, diberikan sitrun, barulah kemudian dialirkan ke rumah warga. "Pakai sitrun sedikit biar jernih. Karena dari dulu airnya memang kayak begitu," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement