REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penolakan terhadap tambang pasir di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Lumajang, Jawa Timur, sebenarnya sudah lama terjadi yakni sejak 2014. Kala itu warga sudah melakukan penolakan dan resah terhadap adanya tambang pasir yang sangat merugikan mereka.
Akses pertanian warga menjadi terganggu, pasalnya baik tambang pasir ataupun pertanian warga sama-sama berada di sekitar bibir pantai. Pasir yang ditambang berupa gundukan dimana biasanya menjadi pertahanan dari air laut saat sedang pasang. Apabila tidak ada gundukan, maka otomatis air laut langsung menabrak lahan-lahan pertanian sehingga bisa merusaknya.
Koordinator untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya menyayangkan tidak adanya respon positif dari Pemerintah Kabupaten Lumajang terhadap penolakan warga akan keberadaan tambang pasir. Ditambah lagi pengusaha tambang seringkali mengancam warga.
“Ancaman terakhir 10 September di pagi hari, Tosan dan beberapa temannya didatangi delapan orang dengan membawa celurit,” ucap Koordinator Badan Pekerja KontraS Surabaya, Fatkhul Khoir kepada Republika.co.id, Rabu (30/9). Saat ini Tosan masih dalam keadaan kritis di RS Saiful Anwar, Lumajang, Jatim.
Sebenarnya pada 8-9 September terjadi perundingan yang intinya sepakat menghentikan kegiatan penambangan pasir di Watu Pecak, Desa Selok Awar-Awar. Selain itu, truk pemuat pasir juga tidak boleh beroperasi di sana. Perundingan itu disepakati oleh sang kepala desa dan Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Seolk Awar-Awar, di antaranya Tosan, Salim, Abdul Hamid, dan Anshori.
Namun sayang baru saja disepakati, keesokannya para aktivis tersebut justru mendapat ancaman dari Tim 12. Dia berharap Pemkab Lumajang agar segera menertibkan seluruh pertambangan liar di Lumajang. “Karena seringkali terjadi ancaman, tidak hanya di Kecamatan Pasirian, tapi juga Kecamatan Tempeh di sebelahnya,” kata Fatkhul.