REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota DPR RI mengusulkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Padahal, rencana revisi UU KPK ini sudah pernah ditolak oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Dalam rapat internal Badan Legislasi (Baleg) DPR RI hari Selasa (6/10), dibahas usulan beberapa anggota DPR soal revisi UU KPK dan RUU Pengampunan Nasional.
Revisi UU KPK ini sendiri diusulkan oleh 45 anggota DPR dari 6 fraksi. Mereka masing-masing dari fraksi PDIP sebanyak 15 orang, Golkar sebanyak 9 orang, PKB sebanyak 2 orang, Nasdem sebanyak 11 orang, Hanura sebanyak 3 orang dan dari PPP 5 orang.
Politikus PDIP, Hendrawan Supratikno mengatakan, revisi UU KPK ini adalah bola panas. Revisi ini sebenarnya menjadi inisiatif pemerintah untuk masuk di Prolegnas prioritas 2015. Namun, Presiden Jokowi justru menolak usulan revisi UU KPK yang sudah diajukan oleh Menteri Hukum dan HAM menjadi prioritas prolegnas 2015.
Beberapa anggota PDIP bersama anggota fraksi lainnya melihat pentingnya dari revisi UU KPK ini. Pengambilan inisiatif dari pemerintah menjadi usulan anggota dewan didasarkan pada pertimbangan terhadap waktu penyelesaian.
Berdasarkan pengalaman, jika usulan RUU berasal dari anggota, pembahasannya dapat dipercepat. Sebab, kalau usulan dari anggota, pemerintah hanya membuat 1 daftar inventaris masalah (dim). Sedangkan kalau usulan datang dari pemerintah, masing-masing fraksi di DPR akan membuat DIM.
“Jadi inisiatif siapa itu tergantung siapa yang lebih cepat untuk menyelesaikan,” kata dia di kompleks parlemen Senayan, Selasa (6/10).
Dalam usulan revisi yang dibuat anggota DPR, imbuh Hendrawan, tidak akan lebih dari 50 persen isi atau substansi yang diubah. Sedangkan kalau pergantian UU, akan lebih dari 50 persen substansi yang dirubah.
Terkait substansi yang ingin diubah dari revisi UU KPK ini, menurut Ketua bidang Perekonomian PDIP ini, sifatnya untuk penguatan terhadap KPK. Misalnya, menempatkan kewenangan yang diberikan pada KPK agar tidak menimbulkan konflik dan ‘abuse of power’.