REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin mengatakan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum mendesak untuk direvisi.
"Namun, bila pemegang kekuasaan membentuk undang-undang berketetapan untuk mengubah, maka revisi harus memperhatikan dua prinsip penting," kata Said Salahudin di Jakarta, Kamis (8/10).
Dua prinsip itu adalah materi muatan undang-undang yang hendak direvisi harus dipastikan terbatas pada pasal-pasal yang memang perlu penyesuaian berdasarkan kebutuhan serta penambahan, pengurangan dan perbaikan norma harus dipastikan tidak untuk melemahkan KPK.
Karena itu, Said mengatakan tidak semua materi revisi yang diusulkan DPR harus diakomodasi. Menurut dia, beberapa materi yang diusulkan untuk direvisi sebetulnya cukup bagus, tetapi lebih banyak yang tidak tepat.
Contoh usulan revisi yang cukup baik adalah agar KPK menangani kasus korupsi dengan kerugian negara di atas Rp 50 miliar dari sebelumnya hanya Rp 1 miliar.
"Usul tersebut terbilang masuk akal karena nilai Rp 1 miliar itu ukuran pada 2002, yaitu saat dibentuk Undang-Undang KPK. Dengan kondisi terkini, nilai kerugian Rp 1 miliar terlalu kecil untuk ditangani lembaga 'superbody' sekelas KPK," tuturnya.
Seharusnya, kata Said, KPK menangani kasus korupsi dengan kerugian negara di atas Rp 5 miliar. Bila di atas Rp50 miliar sebagaimana diusulkan anggota DPR, Said menilai angka itu terlalu tinggi.
Said juga menilai pembentukan dewan kehormatan sebagai usulan yang cukup baik, meskipun dia memiliki pandangan yang berbeda secara konsep. Menurut dia, lebih baik dewan kehormatan tersebut diisi unsur independen, tidak perlu menyertakan unsur pemerintah dan aparat penegak hukum.
"Itu penting agar dewan kehormatan bisa bertugas secara bebas dan independen tanpa ada konflik kepentingan. Pengisian anggota dewan kehormatan bisa dilakukan dengan mekanisme dan waktu yang bersamaan dengan pengisian komisioner KPK," katanya.