REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemunculan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Nasional dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) mendapatkan beragam komentar dari para pengamat. Dalam aturan itu, memuat bahwa koruptor bisa diampuni kalau mengembalikan uangnya yang dibawa kabur ke luar negeri untuk dikembalikan ke Indonesia.
Menurut pakar hukum tata negara Irman Putrasidin, hadirnya RUU Pengampunan Nasional tersebut perlu diseriusi sebagai bentuk rekonsiliasi penyelesaian kasus hukum di bidang perpajakan. Walaupun ada pro dan kontra, ia menilai tidak ada masalah dengan RUU itu. Pasalnya, hakikatnya di negara demokrasi selalu ada pro dan kotra. Dasar pemikirannya melindungi seluruh warga negara dan tumpah darah Indonesia di UUD 45, jadi jangankan orang baik, orang jahat pun berhak mendapatkan sesuai UUD 45.
"Daripada masuk penjara, lebih baik mereka yang berurusan pajak mengembalikan kewajiban pajaknya ke negara. Jadi perlu diseriusi oleh pimpinan-pimpinan partai politik gagasan RUU Pengampunan Nasional ini," ujar pendiri SIDIN Constitution tersebut di Jakarta pada Sabtu (10/10).
Dia meminta masyarakat jangan berpikir bila semakin penuh penjara dengan penjahat, maka akan sukses Indonesia bernegara, justru semakin gagal. Oleh karenanya, ia menilai RUU ini pilihan agar republik ini tidak berlarut-larut dalam urusan pidana khususnya dalam kasus perpajakan.
"Dalam bernegara juga perlu mengampuni warga negara, bukan memenuhi semua penjara dengan warga negara. Prinsipnya pengampunan menjadi penting saat ini. Mencegah kejahatan tidak harus dengan represif ancaman penjara, pengampunan salah satu cara yang bisa dipikirkan," katanya.
RUU Pengampunan Nasional dalam rangka tax amnesty ini seelumnya diusulkan sejumlah anggota fraksi dari PDIP, Golkar, PPP dan PKB dalam rapat Prolegnas 2015. Salah satu pasal yang mengundang pertanyaan dalam RUU tersebut, tidak dimasukkannya tindak pidana korupsi. Ini membuka jalan koruptor berpeluang mendapatkan pengampunan pidana atas perolehan kekayaan dari hasil korupsi.