Kamis 29 Oct 2015 20:01 WIB

Pansus Nilai Perpanjangan Kontrak Pelindo Langgar UU

Rep: Agus Raharjo/ Red: Bayu Hermawan
 Anggota Pansus Pelindo, Masinton Pasaribu mengikuti rapat kerja dengan Pansus hak angket Pelindo II di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (29/10).  (Republika/Raisan Al Farisi)
Anggota Pansus Pelindo, Masinton Pasaribu mengikuti rapat kerja dengan Pansus hak angket Pelindo II di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (29/10). (Republika/Raisan Al Farisi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Panitia Khusus (Pansus) Pelindo II memanggil Jaksa Agung, HM Prasetyo dan Jaksa Agung Muda Tata Usaha Negara (Jamdatun), Noor Rochmad untuk dimintai keterangan.

Dalam pertemuan yang berlangsung terbuka tersebut, pansus Pelindo menyoroti soal pendapat hukum atau ‘legal opinion’ (LO) yang digunakan Pelindo sebagai dasar melakukan perpanjangan konsesi pengelolaan Jakarta International Container Terminal (JICT) dengan Hutchinson Port Holding.

Anggota Pansus Pelindo II, Masinton Pasaribu menilai, penggunaan LO oleh Direktur Utama PT Pelindo II sebagai dasar perpanjangan konsesi pengelolaan JICT melanggar Undang-Undang.

Sebab, LO sifatnya tidak mengikat dan bukan menjadi dasar hukum sebuah kebijakan. Dalam kasus perpanjangan konsesi pengelolaan JICT, Pelindo II menempatkan LO sebagai dasar untuk mengeluarkan kebijakan.

"Bulan November 2014 dimintakan opini oleh Pelindo II ke Jamdatun, lalu keluar LO, itu digunakan sebagai landasan hukum, padahal, seharusnya mengacu pada UU Nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran," katanya di kompleks parlemen Senayan, Kamis (29/10).

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)  ini menambahkan, posisi LO ada di bawah UU. Jadi, yang harus menjadi rujukan untuk mengeluarkan kebijakan tetap UU. Dalam UU Nomor 17 tahun 2008 menegaskan tata cara kelola pelabuhan apapun harus dibedakan antara regulator dengan operator.

Dalam hal ini, posisi Pelindo II sebagai operator. Artinya, jika akan mengeluarkan keputusan untuk perpanjangan kontrak dengan pihak ketiga, Pelindo II membutuhkan izin dari pemerintah sebagai regulatornya.

Hal inilah yang tidak dilakukan oleh Pelindo II dan langsung menempatkan LO sebagai dasar kebijakan untuk perpanjangan konsesi dengan perusahaan asal Hongkong itu.

Menurut Masinton, disilinal letak pelanggaran UU oleh Dirut Pelindo II. Kalau memang terbukti ada pelanggaran UU, maka perpanjangan konsesi itu dapat dibatalkan dan pengelolaan pelabuhan diambil alih oleh negara.

"Pelindo sebagai operator harus mendapat regulator dalam perpanjangan kontrak," tegasnya.

Jaksa Agung, HM Prasetyo membantah LO dari Kejaksaan Agung untuk Pelindo II menyetujui perpanjangan kontrak pengelolaan JICT dengan Hutchinson Port Holding.

Bahkan, dalam LO Kejaksaan Agung tertanggal 21 November 2014, pihak kejaksaan justru mengingatkan Pelindo II agar tunduk pada UU Nomor 17 tahun 2008. Pelindo II diminta tidak melanggar prinsip sebagai operator.

"Kerjasama dibatasi hanya berkaitan dengan masalah Pelindo sebagai operator, dan bukan regulator," ujarnya.

LO tertanggal 21 November 2014 dari Kejaksaan Agung ke Pelindo II diketahui merupakan LO kedua, setelah sebelumnya Kejaksaan Agung juga menerbitkan LO di tanggal 17 Maret 2014.

Dalam LO pertama tersebut ditandatangani oleh Jaksa Utama Memed Sumenda mengatasnamakan Jamdatun. Isi LO tersebut berbeda dengan LO yang keluar tanggal 21 November, yaitu pendapat hukum mengenai konsesi JICT.

Prasetyo mengaku belum pernah membaca LO pertama yang diterbitkan Kejaksaan Agung untuk Pelindo II. Namun, mantan politikus Partai Nasdem itu menegaskan, seharusnya LO yang berlaku adalah LO yang terakhir.

"Seharusnya, LO yang diberlakukan adalah yang terakhir, artinya, yang sebelumnya tidak berlaku lagi," tegas Prasetyo.

Sementara itu, Jamdatun Noor Rochmad menegaskan Pelindo II dapat menjalin kerjasama dengan pihak ketiga selama sebagai operator. Sedangkan hal-hal yang menyangkut regulator, Pelindo II harus minta izin dari pemerintah.

Sebab itu, kata Noor Rochmad, Jamdatun tidak pernah merekomendasikan kerjasama Pelindo II dengan pihak ketiga. Secara aturan, Pelindo II boleh menjalin kerjasama dengan pihak ketiga ketika syarat yang ada dalam UU dipenuhi.

"Kalau dikatakan Jamdatun mengamini kontrak Pelindo soal JICT, sama sekali tak benar, sama sekali tak pernah diberikan," katanya.

Ketua Pansus Pelindo II, Rieke Diah Pitaloka mengatakan, apapun temuan soal Pelindo II, pansus hanya berhak untuk merekomendasikan. Hasil rekomendasi nanti akan dilaporkan pansus dalam rpaat paripurna DPR.

Dari rapat paripurna DPR ini, hasil penyelidikan pansus akan diserahkan pada pemerintah untuk dieksekusi. Kalau memang ada dugaan pelanggaran hukum atau UU, maka rekomendasi tersebut dapat diteruskan ke lembaga penegak hukum.

"Kita kan hanya menyelidiki, kalau ada temuan, kita laporkan paripurna, baru diserahkan ke pemerintah untuk ditindaklanjuti, eksekusinya di pemerintah, bukan di DPR," jelasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement