REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan formula kenaikan upah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang disebutkan "memberikan kepastian kenaikan upah setiap tahun" merupakan pembodohan yang berupaya "meninabobokan" buruh. Dia mengatakan, jargon 'setiap tahun upah buruh naik' adalah pembodohan kepada rakyat dan buruh. "Begitu pula jargon 'memberikan kepastian', itu hanya untuk 'meninabobokan' sebagian kalangan," kata Said Iqbal melalui siaran pers diterima di Jakarta, Selasa (3/11).
Iqbal mengatakan sejak Orde Baru upah buruh sudah mengalami kenaikan setiap tahun yang penentuannya melalui proses yang melibatkan serikat buruh. Namun, pada masa Presiden Joko Widodo, dengan adanya PP Pengupahan, justru peran serikat buruh diabaikan.
Dia menyebut pengabaian peran serikat buruh dalam menentukan upah jelas-jelas melanggar Pasal 88 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut Iqbal, jargon "kepastian" juga telah meninabobokan sebagian kecil kalangan yang tidak pernah merasakan kehabisan uang untuk membeli susu anak, diusir dari kontrakan karena tidak bisa membayar sewa atau diputushubungankerjakan karena status kontraknya selesai.
"Status 'kepastian' itu pasti menyenangkan hati kalangan pengusaha yang menginginkan upah murah," ujarnya.
Iqbal kemudian membandingkan upah buruh Jakarta 2016, yaitu Rp 3,1 juta yang setara dengan biaya makan pekerja asing di Jakarta selama delapan hari. Rata-rata biaya makan pekerja asing di Jakarta adalah 30 dolar per hari atau 240 dolar selama delapan hari. Upah minimum Jakarta Rp 3,1 juta, bila dikonversikan nilainya, kurang dari 240 dolar.
"Bandingkan dengan biaya riil yang harus dikeluarkan buruh Jakarta per bulan. Untuk makan per hari Rp 40 ribu atau Rp 1,2 juta per bulan, biaya transportasi Rp 750 ribu per bulan dan biaya sewa rumah Rp 700 ribu per bulan. Hanya sisa Rp 450 ribu," katanya.
Iqbal mengatakan seseorang tidak akan bisa hidup layak dengan hanya sisa uang Rp 450 ribu per bulan. Padahal, buruh yang menerima upah minimum masih mencapai 85 persen dari total buruh di Jakarta. "Apakah demi mengejar 'kepastian', maka kita melupakan kesejahteraan?" ujarnya.