REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ada 14 daerah di Papua yang patut menjadi perhatian semua pihak dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) lantaran rawan terjadinya konflik kekerasan. Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan hal ini perlu diantisipasi karena memberikan dampak yang besar dalam proses pilkada di daerah tersebut.
“Itu dampaknya sangat destruktif, tidak hanya mengorbankan fasilitas publik maupun fasilitas privat, namun juga menelan banyak korban jiwa serta menganggu tahapan pilkada," kata Titi di Media Center Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta Pusat, Kamis (19/11).
Adapun penyebabnya, antara lain mobilisasi massa oleh tim sukses yang merasa dirugikan dalam tahapan pencalonan maupun hasil pilkada dan juga suasana panas akibat gesekan massa yang membawa senjata baik parang maupun panah selama kampanye. “Massa yang berpapasan lalu saling melontarkan hinaan dan ejekan, yang intinya saling bersinggungan,” ujarnya.
Selain itu kata Titi, konflik bisa muncul dari spontanitas massa akibat ketidakpuasan massa yang tidak mendapatkan jatah uang dari partai politik atau pasangan calon tersebut. Menurutnya, berdasarkan kajian Perludem dan organisasi terkait ada tujuh tahapan yang diketahui paling sering membuat kekerasan pecah yakni tahapan pembentukan daerah pemilihan, pendaftaran calon, masa kampanye, masa tenang-masa pemungutan suara, pemungutan suara, penetapan hasil, hingga penetapan pasangan calon terpilih pasca putusan Mahkmah Konstitusi (MK).
"Tapi faktor utamanya karena penolakan putusan MK, umumnya terjadi karena perdebatan terhadap sistem Noken," kata Titi.
Adapun 14 daerah kabupaten/kota yang rawan terhadap konflik kekerasan tersebut antara lain, kota Jayapura, Puncak, Lanny Jaya, Tolikara, Jayawijaya, Dogiyai, serta yang menyelenggarakan pilkada serentak 2015 ini yakni Yahukimo, Manokwari, Nabire, Warofen, Membramo Raya, Pegunungan Bintang, Bovendigul.