REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meskipun hasil perolehan suara belum ada secara resmi, namun sejumlah lembaga hitung cepat (quick count) melansir hasil di beberapa daerah dikuasai calon dari pejawat (incumbent).
Beberapa daerah misalnya, Kota Tangerang Selatan, Depok, Semarang, dan Surabaya, pasangan calon (Paslon) dari pejawat untuk sementara mengungguli lawan-lawannya.
Terkait hal tersebut, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay enggan mengomentari lebih jauh terkait suksesnya Paslon dari pejawat tersebut.
Menurutnya, KPU bukan pada kapasitasnya memerhatikan perolehan hasil suara, melainkan memastikan suksesnya dari sisi penyelenggaraan.
"Mengenai hasil KPU tidak perhatikan, mau menang siapapun ya silakan saja, asal Pilkada sesuai aturan, tapi saya kira ini sudah berjalan seperti yang kami harapkan meski ini belum selesai," ujarnya di Kantor KPU, Jakarta, Kamis (10/12).
Hadar mengungkapkan, KPU sudah memberikan porsi yang sama untuk semua pasangan calon untuk berkampanye. Namun, ia tidak menampik jika posisi pasangan calon dari pejawat memberikan keuntungan lebih untuk lebih dekat dengan pemilih sebagai pejabat publik.
"Memang dia bisa memanfaatkan jabatannya untuk ekstra berkampanye. itu logis saya kira," katanya.
Namun, terkait hal itu bertentangan atau tidak, Hadar mengatakan itu menjadi kewenangan pihak lain untuk mengawasi. Sementara, KPU dalam posisi membatasi hal-hal yang diatur dalam Undang-undang.
"Itu juga kan sesuatu yang belum bisa diatur secara ketat, apa betul sudah ada peraturan yang melarang kepala daerah tidak boleh lagi mengeluarkan dana bansos, memasang foto program pemerintahnya dan beriklan lewat APBD," ujarnya.
Ia pun menduga kesempatan-kesempatan itulah yang membuat masyarakat lebih familiar dengan calon dari pejawat, lantaran frekuensi yang diberikan oleh calon tersebut. Sementara, calon dari luar pejawat hanya memiliki waktu pada saat kampanye saja.
"Masyarakat mengartikan bahwa calon itu hebat dan membantu masyarakat, kita juya tidak bisa melarang sampai sejauh itu karena memang di UU belum mengaturnya," ujarnya.
Meskipun begitu, Hadar juga menilai calon dari pejawat juga lebih sering menjadi pihak yang paling banyak dikritik, terlepas dari keuntungannya lebih populer dikenal masyarakat.
"Ini kan natural sedangkan peserta yang baru kan belum diketahui banget sama masyarakat kinerjanya sehingga nggak bisa di kritik, ada plus minusnya.Tapi persisnya mengapa incumbent banyak menang, kami tidak tahu dan KPU mungkin tidak terlalu banyak mengurusi ini lebih jauh," katanya.