Rabu 30 Dec 2015 17:33 WIB

Pemerintah Pertimbangkan Amnesti Umum untuk Kelompok Din Minimi

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Bayu Hermawan
Kepala BIN Letjen Purn Soetiyoso (paling kanan,berdiri) berfoto bersama dengan kelompok bersenjata Nurdin alias Din Minimi di Desa Ladang Baro, Kecamatan Julok, Aceh Timur, Aceh, Selasa (29/12).
Foto: Antara/Yusri
Kepala BIN Letjen Purn Soetiyoso (paling kanan,berdiri) berfoto bersama dengan kelompok bersenjata Nurdin alias Din Minimi di Desa Ladang Baro, Kecamatan Julok, Aceh Timur, Aceh, Selasa (29/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mempertimbangkan pemberian amnesti umum untuk kelompok bersenjata Din Minimi.

Sekretaris Kabinet Pramono Anung menjelaskan, jaminan pemberian amnesti umum dan abolisi bagi kelompok bersenjata yang menyerahkan diri telah diatur dalam keputusan presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2005.

"Kalau Kepala BIN mengusulkan adanya amnesti, sebenarnya ini sudah ada yurisprudensinya di mana Pak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada waktu itu mengeluarkan Keppres tentang amnesti umum dan abolisi kepada Gerakan Aceh Merdeka," ujar Pramono, Rabu (30/12).

Keppres Nomor 22 Tahun 2015 menyebutkan bahwa amnesti dan abolisi dapat diberikan pada setiap orang yang terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM), baik yang belum atau sudah menyerahkan diri pada pihak berwajib.

Dengan diberikannya amnesti, maka semua akibat hukum pidana dihapuskan. Dalam Keppres tersebut disebutkan, pemberian amnesti salah satunya bertujuan untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional sehinggga tercipta suasana yang damai dan aman di seluruh Indonesia.

Kendati aturan soal pemberian amnesti sudah tertuang jelas dalam Keppres, Pramono menyebut hal ini masih harus mendapat persetujuan dari DPR.

"Pertimbangan itu akan dilakukan setelah mendapatkan masukan DPR," ucap Seskab.

Pemberian amnesti pertama kali diusulkan oleh Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso yang berhasil membawa kelompok bersenjata asal Aceh tersebut turun dari gunung tempat persembunyiannya. Pemberian ampunan berupa amnesti umum tersebut dianggap sebagai penyelesaian konflik dengan cara santun.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement