REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution mengingatkan desakan revisi Undang Undang Terorisme Nomor 15 Tahun 2003 agar tidak sampai melimpahkan intelijen melakukan penangkapan . "Bukan berarti intelijen memiliki kekuatan jadi penegak hukum," katanya dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (19/1).
Ia mengatakan, tugas penegakkan hukum tetap dalam koordinasi Polri. Sebelum revisi dilakukan, menurut dia, seharusnya pemerintah menyediakan cukup ruang dan waktu untuk mendengar dan menyerap aspirasi publik. Menurut dia, keleluasaan aparat penegak hukum melakukan pemberantasan terorisme, hingga rehabilitasi dan ganti untung bila terjadi salah tangkap. Sasaran penindakan juga harus dengan tetap mengedepankan HAM.
Setidaknya ada beberapa prinsip pokok bila revisi UU Nomor 13 Tahun 2003 itu dilakukan agar pemberantasan tindak pidana terorisme tidak menjadi kontraproduktif. Pertama, aparat kemanan atau penegak hukum diberikan keleluasaan terukur untuk melakukan tindakan penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme.
Dengan demikian, operasi di lapangan betul-betul terukur dan publik pun diberi ruang untuk bisa menilai independensi dan profesionalitas aparat kepolisian. Kedua, ketika aparat penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme melakukan salah sasaran penindakan, maka diperlukan rehabilitasi.
"Aparat penegak hukum berkewajiban meminta maaf kepada keluarga korban salah sasaran penindakan dan kepada publik serta dibarengi dengan melakukan rehabilitasi secara terbuka. Caranya, negara memberikan ganti untung yang laik terhadap korban salah sasaran penindakan penegak hukum," katanya.
Ketiga, ia mengatakan, memberikan kewenangan terukur terhadap pihak kepolisian bagi terduga teroris atau kombatan yang berasal dari sejumlah daerah konflik. Indikasinya, untuk kombatan luar negeri misalnya, bisa dilihat dari rekam jejak perjalanan orang tersebut di Kementerian Luar Negeri.
Keempat, penegasan terkait kerja dan wewenang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Selama ini, kerja BNPT dinilai campur aduk antara pengambil kebijakan, supervisi, dan operasional. Kendati begitu, pemerintah harus menegaskan klasifikasi ancaman keamanan nasional dan pihak-pihak yang melakukan tindakan atas ancaman tersebut.
Terakhir pengaturan anggaran melalui APBN. Menurut dia, pembiayaan personil dan operasi penanganan terorisme oleh BNPT dan Polri-Densus 88 hanya oleh APBN. Sehingga rakyat melalui DPR dan lembaga negara pengawas lainnya memiliki ruang untuk mengawasi independensi dan profesionalitas BNPT dan Polri-Densus 88 dalam penanganan terorisme.