REPUBLIKA.CO.ID, TAJIKISTAN -- Polisi Tajikistan telah mencukur hampir 13 ribu pria berjanggut dan menutup lebih dari 160 toko yang menjual pakaian tradisional Muslim tahun lalu. Upaya ini diklaim sebagai bagian dari perjuangan negara melawan pengaruh asing.
"Layanan penegak hukum meyakini ada lebih dari 1.700 perempuan dan anak gadis berhenti memakai jilbab," kata Kepala Wilayah Polisi Barat Daya Khathlon, Bahrom Sharifzada, dilansir dari Al Jazeera, Kamis (21/1).
Langkah ini dipandang sebagai upaya untuk melawan radikalisme. Menurut perkiraan resmi, ada lebih dari 2.000 orang Tajik ikut bertempur di Suriah. Pemerintah sekuler Tajikistan telah lama mencari langkah preventif guna mencegah pengaruh radikal dari negara tetangga mereka, Afghanistan.
Pekan lalu, parlemen negara ini melarang nama-nama Arab yang terdengar asing dan pernikahan antarsepupu pertama. Aturan ini diharapkan akan disetujui oleh Presiden Emomali Rahmon, yang juga telah mengambil langkah-langkah untuk mempromosikan sekularisme serta mencegah keyakinan dan praktik yang berpotensi menimbulkan ancaman stabilitas Tajikistan.
Pada September, Mahkamah Agung Tajikistan juga melarang satu-satunya partai Islam di negara itu, Islamic Renaissance Party of Tajikistan. Pelarangan itu muncul berbulan-bulan setelah peristiwa kekerasan yang pemerintah tuduhkan pada kelompok Islam radikal.
Rahmon telah memerintah Tajikistan sejak 1994 dan diharapkan akan berakhir pada 2020. Negara berpenduduk 7,1 juta jiwa itu masih berjuang dengan kemiskinan dan ketidakstabilan ekonomi sejak memperoleh kemerdekaan dari Uni Soviet lebih dari dua dekade lalu.
Pada Desember, parlemen memberikan presiden dan keluarganya kekebalan hukum seumur hidup, menganugerahi Rahmon gelar 'pemimpin bangsa', dan secara resmi menunjuk dia sebagai pendiri perdamaian dan persatuan nasional Tajikistan.