Ahad 24 Jan 2016 13:11 WIB

Pakar: Hukum Kebiri Pelaku Kekerasan hanya Emosional

Kebiri kimia (ilustrasi)
Foto: al arabiya
Kebiri kimia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kasus kekerasan seksual, di Indonesia termasuk di Jabar trendnya semakin meningkat. Munculnya wacana hukum kebiri bagi pelaku kekerasan seksual tersebut, dinilai tak akan efektif.  

"Hukuman kebiri, itu emosional saja," ujar Guru Besar Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana Unisba, Edi Setiadi kepada wartawan, di acara Seminar Nasional, Perlindungan Hukum terhadap Anak yang menjadi Korban Kekerasan, akhir pekan lalu.

Menurut Edi, kalau hukuman kebiri tersebut menjadi regulasi, maka harus dipikirkan siapa yang nanti akan memulihkan. Karena, hukuman kebiri bukan mematikan hasrat seksualnya tapi dihentikan sementara sepanjang pelaku menjalani hukuman.

"Misalnya, pelaku dihukum selama tujuh tahun. Jadi, dikebirinya selama 7 tahun. Nah, nanti siapa yang memulihkan," katanya.

Edi menilai, akan banyak persoalan hukum kalau hukum kebiri itu diberlakukan. Karena, tujuan awal hukum kebiri untuk memberi efek jera, belum tentu bisa tercapai.

"Saya berpendapat itu agak emosional keputusan seperti itu. Kalau kebiri, untuk efek jera, tak akan tercapai. Jadi, cari alternatif lain untuk hukuman itu," katanya.

Saat ditanya tentang hukuman shock terapi seperti apa yang bisa membuat pelaku kekerasan seksual jera, Edi mengatakan pesimis, kalau melihat hukum di  Indonesia, hukum shock terapi bisa diterapkan. Karena, hingga saat ini beberapa kejahatan yang sebenarnya bisa diberlakukan hukum maksimal, masih jarang dilakukan.

"Di Cina, hukum shock terapinya berhasil. Misalnya, kasus korupsi ada yang sampai hukuman mati," katanya.

Namun, kata dia, di Indonesia hingga saat ini belum ada hukuman mati untuk korupsi kasus Bansos (bantuan sosial). Padahal, banyak kasus Bansos yang merugikan negara cukup besar.

"Kasus yang lain juga begitu, masih jarang yang vonis hukumnya maksimal," katanya.

Selain itu, kata dia, Indonesia tidak mengenal hukuman untuk jera tapi, untuk membuat orang menjadi baik. Jadi, istilahnya lembaga permasyarakatan bukan pen-jeraan.

"Dulu, hukuman yang menjerakan itu hukum kolonial. Selama istilahnya LP, tak akan buat jera," katanya.

Khusus untuk kekerasan anak, kata dia, saat ini hukum maksimalnya 12 tahun. Namun, selain memberikan sanksi pada pelaku, ada kewajiban bagi negara untuk memberikan kompensai bagi korban.

"Saat ini, ada 21 juta pelaku dan korban kekerasan. Memang, kalau negara memberikan kompensasi bisa bangkrut," katanya.

sumber : Arie Lukihardianti
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement