REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo memanggil pimpinan dua ormas islam salah satunya yaitu Nahdlatul Ulama (NU) ke Istana Merdeka, Jumat (5/2). Presiden meminta ormas Islam tersebut membantu pemerintah memerangi paham radikalisme di Indonesia.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj mengatakan, Jokowi meminta pada kiai-kiai NU agar menekankan pada ummat untuk menjauhi paham radikal dalam setiap khutbah keagamaan.
Menurut Said, sebelum diminta Presiden pun NU sebenarnya sudah menjalankan hal itu. Hanya saja, karena ancaman terorisme di Tanah Air makin darurat, maka upaya memerangi paham radikal akan ditingkatkan.
"Jadi nanti ke depan kiai-kiai kita akan diminta bicara di media arus utama, media milik pemerintah," kata Said.
Berdasarkan pengamatannya, Said menilai, ceramah-ceramah agama yang keras menentang terorisme banyak ditemui di kantor-kantor pemerintahan pusat. Sementara, khutbah yang menyerukan umat jauhi paham radikal justru tak terdengar di desa-desa.
Selain soal masalah radikalisme, Said juga memandang penting bagi ulama mengingatkan ummat soal toleransi. Sebab, ia melihat, sudah mulai ada riak-riak pertentangan antara pengikut Sunni dan Syiah di Indonesia.
"Konflik Sunni dan Syiah yang ada di Timur Tengah terasa sekali getarannya di kita, terutama di Jawa Timur," ucap Said.
Berbicara terpisah, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyebut Presiden ingin membangun kerjasama dengan ormas-ormas untuk membantu pemerintah mensosialisasikan program deradikalisasi.
"Karena memang kerjasama menangani terorisme ini tidak bisa dikerjakan sendiri oleh pemerintah," ucap Luhut.