REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Pakar Entomologi Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Isra Wahid mengatakan ada keterlambatan struktural dalam mengantisipasi penyakit demam berdarah dengue (DBD).
"Seharusnya antisipasi dilakukan sejak musim kemarau, ketika populasi nyamuk masih rendah, tetapi fogging (pengasapan) selalu terlambat dilakukan," kata Isra dalam pemaparannya pada Pertemuan Penanggulangan Penyakit DBD, Zika dan Chikunguya di Provinsi Sulawesi Selatan yang diselenggarakan di Makassar, Senin (15/2).
Menurut Isra, selama ini fogging baru dilakukan pada musim hujan ketika kasus DBD mulai muncul. Padahal sejak pasien terinfeksi hingga kasus tersebut dilaporkan, butuh waktu antara tujuh hingga empat belas hari.
"Ketika fogging datang, virus sudah terlanjur menyebar, sudah terlambat," jelasnya.
Di sisi lain berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Dinas Kesehatan, pengasapan baru dapat dilakukan jika ada kasus DBD. "Padahal yang di-fogging itu nyamuknya, bukan kasusnya, makanya fogging tidak pernah bisa menurunkan jumlah penderita," ujarnya.
Karenanya, ia menilai SOP tersebut menunjukkan adanya keterlambatan struktural antisipasi penyakit tersebut.
"Hal ini sebenarnya sudah berkali-kali kami sampaikan, SOP itu harus dilawan," ucap Isra.
Lebih lanjut Isra menjelaskan, untuk secara efektif memberantas penyakit ini, hal yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan kontrol terhadap faktor penyakit ini, yaitu nyamuk aedes aegypti. "Kalau pengendalian dilakukan pada musim kemarau, ketika populasi nyamuk rendah, jumlah populasinya ketika musim hujan akan lebih rendah," paparnya.
Menurut dia, seharusnya ada entomolog yang melakukan kontrol, dan bekerja sama dengan Dinas Pertanian terkait resistensi nyamuk terhadap insektisida yang selama ini digunakan oleh pertanian. "Kontrol harus dilakukan, karena penyemprotan pada musim hujan itu tidak menyelesaikan masalah, tetapi hanya untuk menenangkan masyarakat," ujarnya.