Selasa 23 Feb 2016 13:03 WIB

Revisi UU KPK Dinilai Berdampak Negatif

Rep: C32/ Red: Karta Raharja Ucu
Stop Revisi RUU KPK. Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menggelar aksi unjuk rasa untuk menghentikan revisi RUU KPK di depan Komplek Parlemen DPR RI, Jakarta, Rabu (17/2). (Republika/Wihdan)
Foto: Republika/ Wihdan
Stop Revisi RUU KPK. Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menggelar aksi unjuk rasa untuk menghentikan revisi RUU KPK di depan Komplek Parlemen DPR RI, Jakarta, Rabu (17/2). (Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) selama ini sudah dinilai baik dalam mengatur pembenahan sektor lingkungan hidup. Guru Besar Institutut Pertanian Bogor (IPB) menilai pembenahan UU KPK justru akan berdampak negatif.

 

“Pembenahan semua itu artinya menanggulangi terjadinya korupsi yang selama ini hasilnya dapat menjadi sumber daya politik,” kata kata Guru Besar IPB Hariadi Kartodihardjo, Selasa (23/2).

 

Dia menambahkan, revisi UU KPK nampak seperti ada beberapa aktor dari kelompok politik tertentu. Untuk itu, kata dia, pembenahan revisi UU KPK tersebut akan membuat lembaga antirasuah itu menjadi lemah.

 

“Karena itu para guru besar dari berbagai perguruan tinggi turun tangan menyampaikan surat kepada presiden agar pelemahan KPK melalui revisi UU di DPR tidak terjadi,” ucap Hariadi.

Selain itu ia menjelaskan, selama ini juga tercatat upaya pencegahan korupsi sektor sumber daya alam lain yang sudah dilakukan KPK. Menurut Hariadi, KPK sudah baik melakukan hal tersebut melalui kegiatan Koordinasi Supervisi Mineral dan Batubara (Korsup Minerba) di 12 Propinsi Indonesia.

 

Berdasarkan rekomendasi Korsup Minerba, kata dia, di tingkat propinsi pada 2014, pemerintah daerah harus melakukan evaluasi dan penataan terhadap Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang bermasalah. “Baik permasalahan administrasi, keuangan maupun wilayah. Salah satu indikator evaluasi izin adalah IUP bermasalah dengan status non Clean and Clear (CNC),” jelas Hariadi.

 

Hariadi berpendapat, izin-izin yang belum mendapatkan sertifikat CNC direkomendasikan untuk dicabut. Dia menegaskan, berdasarkan data Korsup Minerba 2014 provinsi dengan jumalah IUP Non-CNC tertinggi adalah Provinsi Bangka Belitung (601 IUP) diikuti Provinsi Kalimantan Timur (450 IUP), dan Kalimantan Selatan (441 IUP).

 

“Dari jumlah IUP yang bermasalah dan berstatus Non-CNC hingga september 2015 tercatat 721 IUP telah dicabut di 12 Provinsi,” tutur Hariadi. Selain itu, tiga Provinsi dengan jumlah pencabutan tertiggi adalah Sulawesi Tengah 160 IUP, Sumatera Selatan 148 IUP, dan Kepulauan Riau 93 IUP.

 

Meskipun begitu, di beberapa provinsi penataan izin bermasalah juga sudah dilakukan perbaikan dan penyelesaian permasalahan sehingga IUP yang Non-CNC menjadi bersertifikat CNC. Untuk itu, Hariadi menilai jika adanya revisi UU KPK ditakutkan akan mengganggu kebijakan yang selama ini sudah dilakukan dengan baik.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement