REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasukan gabungan TNI-Polri saat ini tengah melakukan Operasi Tinombala untuk memburu Kelompok Santoso yang bersembunyi di pegunungan Poso. Operasi Tinombala merupakan kelanjutan dari Operasi Camar Maleo IV yang jangka waktunya telah habis pada awal Januari lalu.
Pengamat terorisme dari Institut for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyarankan pemerintah mengubah strategi dalam perburuan teroris.
Hal ini karena operasi Camar Maleo, yang telah berlangsung hingga jilid IV, hingga Operasi Tinombala tidak juga berhasil melumpuhkan Santoso, pimpinan kelompok radikal tersebut.
"Harus ada evaluasi yang jelas soal kegagalan Camar Maleo. Apalagi, saya juga tidak melihat ada strategi baru untuk memburu kelompok Santoso ini dalam Operasi Tinombala," ujarnya pada Republika, Selasa (1/3).
Fahmi berpendapat, kelompok Santoso sejatinya bukan kelompok yang paling penting meski mereka, pada kurun waktu 2013-2014, sempat menggandeng jaringannya di luar Poso untuk menebar ancaman di beberapa daerah. Faktanya, aktivitas mereka pada akhirnya selalu berhasil digagalkan.
Kelompok tersebut, sambung Fahmi, juga relatif terisolasi dari dunia luar. Santoso diketahui memiliki koneksi dengan jaringan di Bima, NTB. Sejumlah pengikutnya juga berasal dari daerah tersebut.
Dengan demikian, kelompok Bima dapat dikatakan sebagai penopang utama Santoso, baik dari sisi logistik maupun kekuatan personil. Oleh karenanya, menurut dia, Polri baiknya mengubah strategi dengan memburu jaringan Bima terlebih dahulu.
"Mestinya jalur logistik dan personilnya diputus dulu," kata Fahmi.