REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam ke-5 merupakan kehormatan sekaligus peluang yang besar membuktikan peran Indonesia sebagai mediator untuk perdamaian di Timur Tengah, kata seorang pakar.
"Persoalannya nanti tinggal bagaimana Indonesia mampu memanfaatkan peluang baik itu," kata pakar hukum internasional Universitas Indonesia (UII) Jawahir Thontowi di Yogyakarta, ahad (6/3).
Menurut Jawahir, selama ini pertemuan negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang telah lebih dulu diselenggarakan belum cukup membuktikan dan menghasilkan perdamaian di Timur Tengah, khususnya terkait kedaulatan Palestina.
Apalagi, beberapa tahun terakhir justru ditambah dengan munculnya ISIS yang diselingi dengan konflik ideologi Sunny dan Syiah sehingga selain membahas tema utama "Palestina dan Al-Quds", KTT OKI ke-5 juga berpeluang membahas perdamaian kedua ideologi di Timur Tengah tersebut.
"Serta secara tegas bersama-sama mengecam ISIS karena jelas-jelas telah mencederai citra Islam," kata dia.
Karena itu, menurut Jawahir, Indonesia dengan jumlah muslim terbesar di dunia dan prinsip moderat harus membuktikan bahwa Indonesia tidak berpihak pada salah satu kubu negara-negara Islam yang terlibat konflik, melainkan lebih mengutamakan perdamaian umat.
Selanjutnya, kata dia, karena konflik di Timur Tengah tersebut ditengarai tidak terlepas kepentingan ekonomi, maka delegasi negara-negara Islam juga harus merumuskan pendekatan dengan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bahkan negara super power.
"Dalam hal ini diprioritaskan agar Indonesia juga dapat melakukan negosiasi dengan Saudi di sela KTT OKI tersebut," kata dia.
Ia juga berharap agar KTT LB OKI Ke-5 tersebut dapat menghasilkan keputusan yang mengikat dan dapat diwujudkan untuk perdamaian di Timur Tengah.