REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat terorisme dari Certified International Investment Analyst (CIIA), Harist Abu Ulya mengatakan, tidak pernah ada proses evaluasi yang dilakukan terhadap para aparat yang bertugas dalam operasi teroris Detasemen Khusus 88 (Densus 88). Pasukan ini juga tak memiliki lembaga khusus di luar kepolisian yang berwenang melakukan pengawasan.
"Hingga saat ini, belum pernah sekalipun ada personil Densus 88 yang mendapat sanksi karena lalai atau tidak profesional saat bertugas atau mereka menyalahi prosedur hukum. Padahal, sudah banyak korban terduga teroris yang ternyata salah tangkap," kata Harits kepada Republika.co.id, Rabu (16/3). (Perangai Densus 88 Dinilai Sebabkan Banyak Aksi Teror).
Kinerja Densus 88 belakangan menjadi sorotan publik. Hal ini terjadi setelah terduga teroris dari Klaten, Jawa Tengah, Siyono (34) tewas di tangan Densus pada Jumat (11/3), pekan lalu.
Menurut Harist, kematian Siyono diduga kuat karena aparat Densus 88 telah menyalahi prosedur hukum yang berlaku. Mulai dari proses penangkapan yang dinilai arogan, hingga tindakan tidak manusiawi yang dilakukan pada tersangka.
Harist juga menyangkal alasan yang dijelaskan oleh pihak kepolisian yang dinilai tidak masuk akal. Polisi mengatakan Siyono tewas setelah berkelahi duet dengan anggota Densus.
Harits menuturkan, hingga saat ini ada sebanyak 120 terduga teroris yang tewas saat proses penangkapan berlangsung. Kemudian, 40 orang terduga teroris yang ditangkap tidak terbukti bersalah.
"Setidaknya sudah 120 terduga teroris yang tewas dalam proses penangkapan. Padahal, ini jelas prosedur hukumnya penangkapan, ini jelas menyalahi aturan, tapi belum pernah ada sanksi apapun," kata Harits.