Jumat 18 Mar 2016 18:06 WIB

RUU Pilkada Dinilai Hanya untuk Jakarta

Rep: Lintar Satria/ Red: Karta Raharja Ucu
  Sejumlah aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Rabu (24/9).  (Republika/Wihdan)
Sejumlah aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Rabu (24/9). (Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Center for Indonesian National Policy Studies (CINAPS) Guspiabri Sumowigeno mengatakan perkembangan wacana Revisi Undang-Undang Pilkada, tajam melihat obyek yang dekat, tetapi kurang mampu melihat jauh. Terutama menyikapi persyaratan pencalonan melalui jalur perseorangan dalam Pilkada.

Guspiabri mengatakan banyak tokoh terpandang sepertinya terjebak pada kepentingan untuk memuluskan langkah seseorang di Pilkada satu daerah. Juga banyak yang mengambil kesimpulan, lanjut Guspiabri fenomena munculnya calon-calon perseorangan dalam Pilkada akan menuju pada de-parpolisasi.

“Pemerintah, DPR RI, elite politik dan akademisi, dalam melihat revisi UU Pilkada harus melihatnya dalam perspektif membangun demokrasi di negara ini kedepan. Indonesia bukan hanya Jakarta,” katanya, saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (18/3).

UU Pilkada yang baru kelak, menurut Guspiabri harus mencegah munculnya seorang figur yang antidemokrasi melalui jalur alternatif atau perseorangan. Ia mengatakan memudahkan munculnya calon perseorangan belum tentu akan menghasilkan perkembangan demokrasi kearah yang lebih baik. 

“Hal ini karena calon perseorangan bisa melenggang ke arena pemilihan tanpa melalui proses seleksi sebagaimana seseorang yang maju karena dicalonkan parpol,” katanya. 

Guspiabri menjelaskan parpol mengemban banyak tugas dalam mengembangkan politik dan demokrasi. Ia mengatakan seseorang yang dicalonkan parpol untuk menduduki suatu jabatan politik telah melalui seleksi yang ketat dan berjenjang dilingkungan internal parpol.

“Karenanya cenderung memiliki wawasan ideologis mengenai negara yang lebih luas, menguasai peta politik dengan lebih baik, teruji dalam berinteraksi dengan masyarakat. Yang terpenting, seorang calon dari parpol dimunculkan setelah proses penelitian oleh kepemimpinan partai ditingkat daerah dan bermuara ditingkat nasional yang bersifat kolektif kolegial,” tambahnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement